Jangan lupa vote dan komen!
---
“Sesulit apa pun keadaan kita, tentang Tuhan tetaplah yang utama.”
Bagaskara, lelaki itu masih setia berada di samping Allena untuk menemani gadis rapuh ini. Di lain sisi, Nadin yang sudah banyak perubahan tampaknya sangat menyesal dengan perbuatannya dulu. Bahkan, jika ada tokoh yang harus disalahkan dalam kecelakaan ini, ialah orangnya, ia penyebab calon cucunya menjadi korban, belum lagi mata Allena yang sudah hilang pengelihatan.
“Gas, sekarang jam berapa?” tanya Allena, hanya memastikan untuk melaksanakan kewajibannya.
“Jam setengah dua belas, bentar lagi zuhur,” ujar Bagas sambil tersenyum, sayangnya gadis itu tak bisa melihat senyuman manisnya.
“Nanti habis zuhur Riani katanya mau ke sini, jengukin lo sama Al,” ujar Bagas.
“Hm. Gue kapan pulang sih, Gas? Bosen di sini, kerjaannya cuma rebahan.”
Sedetik kemudian Allena meruntuki ucapannya sendiri. Bahkan, sekarang mungkin ia akan tetap bosan di mana pun keberadaannya. Tanpa ada satu objek pun yang bisa ia lihat, tanpa bisa melakukan apa pun dengan bebas. Ah, sulit sekali menjadi Allena.
“Sabar, ya, luka-luka di tangan dan kaki lo ‘kan belum pulih. Al juga baru operasi, jahitannya belum kering jadi gak bisa banyak gerak dulu. Mungkin, lo pulangnya barengan sama Al nanti,” ujar Bagas sambil mengelus rambut panjang Allena yang sedang menyandarkan kepalanya di kepala brankar.
“Hm.”
“Kalau udah masuk waktu zuhur kasih tahu, ya!” ucap Allena.
“Ya Allah, Len.” Bagas tak bisa berkata lagi. Ia benar-benar salut dengan gadis ini.
“Bagas, sesulit apa pun keadaan kita, tentang Tuhan tetaplah yang utama. So, selagi Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk bernapas, jangan pernah kita sia-siakan,” ujar Allena, Bagas merasa seolah dinasihati oleh mamanya sendiri, sangat damai hatinya.
“MasyaAllah … pengin peluk tapi belum halal,” kekeh Bagas, gadis itu ikut terkekeh dengan perkataan Bagas yang menurutnya selamanya hanya akan menjadi angan semata.
Usai Bagas melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim, begitu pun Allena yang kembali ke atas brankarnya dengan tertatih-tatih dibantu oleh Febi dan Nadin. Bagas kembali ke kamar rawat Allena, tetapi sebelum itu ia mampir ke kamar rawat Alleta yang hanya ada Alleta dan Elang yang lebih dulu salat darinya.
“Bang Elang memang kalo udah jatuh cinta bucin banget,” gumam Bagas melihat Elang yang tertidur dengan bantalan paha Alleta, padalah perempuan itu masih dalam kondisi sakit.
“Hayoloh! Ngapain? Ngintip?!” sarkas Febi yang baru saja datang di belakangnya.
“E—eh, enggak, Kak, tadinya mau lihat Al, tapi malah pada tidur,” ujar Bagas, Febi mengikuti arah pandang lelaki itu. Benar saja, Alleta dan Elang tertidur sangat tenang sampai mereka lupa keberadaan mereka sedang di rumah sakit.
“Elang mau ke Subang buat ketemu temennya yang ngerti banget soal pengobatan mata, semoga aja Al berubah pikiran, jujur kakak enggak tega kalau lihat orang yang hampir sama mengalami hal yang sama juga,” ucap Febi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Fiksi Remaja"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...