Jangan lupa vote dulu!
---
Berat memang namun, Alleta berusaha mengikhlaskan kepergian Stev. Sejak berita duka itu, untuk ketiga harinya Alleta terus termenung, lebih banyak diam daripada biasanya. Elang menyadari hal itu, meskipun pernikahan mereka karena sebuah kecelakaan namun, Elang harap Alleta bisa menjadi pendampingnya yang saling terbuka.
“Al, udah siap cerita?” tanya Elang sambil mengelus rambut panjang nan lurus itu. Alleta tersenyum sambil mengangguk. Tak baik juga untuknya menyimpan rahasia kesedihannya terlalu lama. Alleta menggiring Elang untuk duduk di sofa ruang keluarga.
“Stev, dia orang yang pernah warnain hari-hariku dengan tawa. Saat Al benci Lena dulu, dia yang nyadarin Al, dia yang buat Al berubah baik pada Lena, tapi sekarang orang itu udah gak ada, Kak, dia udah pergi,” lirih Alleta di akhir kalimatnya. Matanya berlinang namun, ia berusaha menahan air mata itu agar tak luruh.
“Pas nikah sama aku, kamu masih ada hubungan?” Alleta menggeleng cepat.
“Aku dan dia udah putus tanpa sebab. Dia yang buat aku hampir stres, Kak, hiks … waktu itu, aku bener-bener gak habis pikir lagi sama mama. Aku ngerasa bersalah banget sama Lena. Di waktu yang sama, Stev pergi tanpa sebab, padahal waktu itu aku lagi butuh dia banget, karena selama ini cuma Stev orang yang bisa aku jadikan sandaran, hiks … ternyata Stev pergi karena dia berjuang buat keluarganya. Bodohnya, aku buat diri aku sendiri hancur. Saat kita nikah ternyata Stev datang, dia ketemu Lena dan Bagas, kata-kata yang dia ungkapin seolah cerminan dia sakit hati, hiks … dia kecewa karena aku udah milik orang lain. Dia depresi, dia nekat mabuk dan merokok dalam jumlah banyak saat itu juga. Hiks … aku ngerasa bersalah banget, kalau aja aku kabarin baik-baik, pasti dia gak akan senekat itu, hiks ….”
Elang tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan, pelukannya ia harap bisa meringankan sedikit kesedihan Alleta.
“Udah, ya! Jangan nyalahin diri sendiri. Sedih boleh, tapi jangan terlalu larut, karena itu gak baik.” Jemarinya terulur pada mata basah milik perempuan itu, menghapus jejak air matanya.
“Sekarang ada aku. Mungkin aku gak bisa ngasih apa yang Stev kasih. Dia yang jaga kamu, tapi aku yang hancurin kamu, tapi kamu harus percaya, aku udah mulai sayang sejak kita dipersatukan dalam ikatan pernikahan,” ujar Elang berhasil membuat Alleta membeku. Secepat inikah Elang menaruh rasa pada seseorang?
“Kamu gak marah ‘kan kalau aku cerita masa lalu aku?” tanya Alleta, Elang terkekeh.
“Buat apa aku marah? Aku juga punya masa lalu.”
“Cerita dong! Aku ‘kan udah cerita tentang Stev,” ujar Alleta merengek. Elang terkekeh, ia menghela napas untuk bercerita, berat memang, tetapi ia harus terbuka.
“Sebenarnya cerita kita hampir mirip, Al. Aku pernah punya masa lalu. Cewek itu, cewek yang temenin aku dari masa SMP sampai kuliah, bertahun-tahun dia selalu buat aku senang, dia juga senang dengan tingkah kami yang terbilang masih bocah. Tapi ternyata, itu semua cuma rekayasa. Dia jauh dari kata baik. Dia terkena kanker leukemia stadium akhir. Dia gak pernah cerita ataupun ngeluh pas sama aku, makanya aku nyangka dia baik-baik aja. Saat aku dan dia yang harusnya daftar kuliah, dia pergi, waktu itu dia drop banget sampe gak bisa lagi nahan sakitnya dia. Cuma orang tuanya yang tahu, bahkan sahabatnya pun gak ada yang tahu. Dari sana, aku bener-bener nyesel. Dia pernah punya keinginan kalau aku harus jadi Dokter kayak mama. Dan dari sana, aku yang semula mau ambil fakultas bisnis beralih ke Dokter karena semangat dari buku diari dia. Lama kelamaan aku nyaman juga jadi Dokter, sampe akhirnya aku udah ikhlas atas kepergian dia, tapi aku sempat bersikap dingin ke semua orang saat kehilangan cewek itu,” ujar Elang sambil menatap kosong ke arah depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Novela Juvenil"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...