Rara hanya manggut-manggut saja mendengar ucapan suaminya. Di tatapan wajahnya secara detail, terdapat nodah darah sedikit di dekat hidung.
"Hidung kamu ada darahnya," kata Rara mengusap lembut.
Rio hanya tersenyum melihat istrinya dari dekat. Walaupun bentuk tubuhnya tidak seperti wanita lain, namun tidak mengurangi rasa cinta Rio ke Rara.
Setan apa yang merasukinya, membuat Rio sangat-sangat menyayanginya. Rio memeluk tubuh Rara yang sedikit kurus akibat jarang makan semenjak di rumah sakit.
"Kalau sudah sembuh, mau apa? Nanti aku beliin?" tanya Rio mencium pipi gembul Rara.
"Hemm ... apa yah?" Rara berpikir sembari mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk.
"Aku mau bakso bom!" seruh Rara memeluk leher suaminya yang membuat Rio sedikit terkejut akibat gentakan berat darinya.
"Siap tuan putri!" tegap Rio hormat sambil tersenyum manis di hadapan Rara. Rara membalas senyuman Rio sesekali bergeleng-geleng kepala.
Lagi-lagi Rio mencium pipi Rara dengan gemas sembari menggesekan hidungnya ke hidung Rara.
"Geli tau!" kesal Rara memanyunkan bibirnya.
Rio melirik ke meja yang sudah ada semangkuk bubur yang ia beli tadi. Di ambilnya dan di aduk-aduk hingga rata.
"Makan yaa," kata Rio mulai menyendoknya dan menyuapi Rara. Dengan senang hati, Rara menerimahnya.
"Makan yang banyak biar sehat. Nanti kamu jadi kurus, aku gak mau itu!" sinis Rio memberi tatapan tajam.
"Iya Sayang," balas Rara mencubit kedua pipi Rio.
Tok, tok!
Rara dan Rio menoleh ke pintu. "Masuk!" teriak Rio.
Pintu langsung dibuka oleh seorang wanita yang umurnya 50 tahunan. Mereka berpandang satu sama lain.
"Ibu," gumam Rara.
Ana tersenyum hangat kepada mereka, tangannya membawa buah tangan. Ia mendekat dan menaruhnya di meja.
"Kamu sudah sehat?" tanya Ana yang sedikit khawatir.
"Sudah, Bu," jawab Rara melihat Ana.
Rio menoleh dan menyalami ibu mertuanya. "Mama apa kabar?" tanya Rio ramah.
"Alhamdulillah, baik," jawabnya.
"Kamu kenapa bisa masuk ke sini?" tanya Ana yang memang dari awal belum tau.
"Cuman kecelakaan dikit, Buk," jawab Rara.
"Yasudah, kamu istirahat yang banyak biar sehat. Ibu mau pergi dulu, masih ada kerjaan diluar," pamit Ana yang di bales anggukan oleh mereka berdua.
Rara menatap kepergian Ana yang mulai hilang dari balik pintu. Matanya sedikit sayu, juga badannya sedikit lemes.
_
Sudah beberapa hari Rara dirumah sakit, kini sudah boleh balik. Rio mengemasi baju-baju Rara ke dalam tas yang cukup besar.
Sementara Rara hanya diam tanpa mengeluarkan kata sedikit pun. Rio membawa tas sambil membantu Rara berjalan meninggalkan ruangan itu.
"Aku mau nagih janji," cela Rara melihat ke samping yang terdapat wajah Rio.
"Janji apa?" tanya Rio mengkerutkan dahi.
"Janji waktu itu!" kesal Rara menghentakan kaki.
"Janji yang apa, Sayang?" tanya Rio sekali lagi.
"Auuu ahh!" Rara meraju. Ia berjalan duluan meninggalkan Rio yang sedari tadi mematung.
Rio terkekeh geli, padahal ia ingat janjinya waktu itu. Hanya saja Rio sedang menguji Rara, dan hasilnya malah ngambek.
Rio berlari sembari membawa tasnya yang sudah terompang-amping. Bibirnya terus saja menyebut nama Rara.
Rara tetap kekeuh tak mau berhenti, lebih memalih masuk ke dalam mobil milik mereka dari pada mendengarkan bicara suaminya.
"Aku cape Sayang," keluh Rio mengusap keringat di dahinya.
"Siapa suruh lari!" ketusnya tanpa melihat Rio.
Sang empu menarik napas panjang, lalu dikeluarkan secara perlahan. "Sayang ...," panggil Rio lembut.
"Apa?"
"Ayoo kita makan bakso bom," balas Rio membuat Rara kegirangan.
Rio masuk ke dalam mobil di samping Rara, bagian jok belakang. Rio menoleh ke samping dan memberi senyuman sedikit.
"Jadi makan baksonya?" tanya Rio sekali lagi.
"Jadi dong!" jawabnya senang.
Langsung saja Rara memeluk tubuh kekar Rio dengan erat. Sang suami membalasnya sembari mengecup kening Rara sayang.
"Jalan pak," titah Rio ke supir. Mobil dijalankan ke jalan raya meninggalkan halaman rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, Rara tidak mau melepas pelukan itu membuat Rio kesusahan bergerak. "Sayang," panggil Rio membuat Rara mendongak.
"Napasku sesak," aku Rio yang benar-benar sulit bernapas.
"Gak mau!" tolak Rara mentah-mentah.
Rio menghembuskan napas gusar. Dibiarkan istrinya memeluk tubuhnya sampai kapanpun.
"Nanti berhenti, di pedagang bakso bom," perintah Rio. Supir mengangguk ngerti.
1 jam menempuh perjalan hanya untuk mendatangi pedagang bakso yang berada di taman kota.
Mobil di tepihkan di pinggir jalan, Rara dan Rio keluar. Senyum Rara mengembang sempurna membuat Rio gemas melihatnya.
Rio menggandeng tangan Rara masuk ke dalam. Mereka duduk dibangku sambil memesan 1 mangkok bakso bom.
"Jangan menaruh sambal terlalu banyak, nanti sakit!" Rio memperingati Rara agar menaruhnya tidak terlalu banyak.
Rara tersenyum. "Iya Sayang."
Pelayan datang sambil menaruh bakso bom yang berporsi besar. Hingga 2 orang pun bisa memakannya bareng.
Pelayan kembali pergi. Rio mengambil pisau yang sudah disiapkan untuk memotongnya. Dibelah secara pelan, bakso pun mulai menampakan cabe dan pentol kecil-kecilnya di dalam.
Mata Rara terus terbinar-binar melihatnya. Ia mengambil garbu dan sedikit dicicipi.
"Enak bangat!" puji Rara.
Rio dan Rara mulai memakannya hingga habis nanti. Sesekali Rara kepedasan akibat tidak sengaja memakan cabe rawit.
Rio tertawa kecil melihat ekspresi Rara seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Gendut Milik Mafia [SEGERA TERBIT]
Fanfiction"Ketika cinta tak memandang fisik, disitulah kebahagiaan yang sesungguhnya tumbuh," Rara. Belum di revisi, jadi maklumi aja ceritanya amburadul. Versi cetak sama yang di WP, nanti beda ya🦋🤙. Buang Negatifnya dan ambil Fositifnya dari dalam cerita...