Sekian cukup lama, Rio terdiam dan membuang napas gusarnya. Di tengok ke samping melihat Tara yang sedang menatap dirinya.
"Tara kenapa?" tanya Rio membelai rambut hitam Tara.
"Om cenapa?" Tara berbalik nanya sembari mengigit jari telunjuknya.
"Gak, kok. Om gak papa," jawab Rio tersenyum culas lalu menghidupkan mesin dan pergi dari kediaman rumah mertuanya.
_
Kini Ana dan Rara sudah ada di apartemen milik Ayahnya ataupun suaminya.
Ana yang sedang sibuk mengurus Adi yang terbaring lemah dengan berbagai alat rumah sakit, dirinya memang di rawat dirumah karena kemauan Adi sendiri.
Sementara Rara dan Raka berada di ruang tamu sambil menikmati cemilan dan coklat panas.
"Ra, suamimu kemana? Kok abang gak pernah liat?" tanya Raka disela mengunyanya.
Rara yang tadinya menatap ke depan, kini menengok ke samping. "Kerja," jawabnya dingin.
"Kerja atau main cewe?" ledeknya menarik turunkan alisnya yang tebal seperti ulat.
"Kerja, ih! Abang mah!" kesal Rara memanyunkan bibirnya.
"De, liat de, Mamamu merajuk mulu!" sindir Raka mengusap perut adiknya. Raka sudah mengetahui kalau Rara sedang hamil karena ibunya sendiri yang bilang tadi.
Bugh! Plak!
"Haduw!" jerit Raka saat kepalanya tertimpah mangkuk plastik berisi cemilan, sehingga isinya berserakan di lantai.
"Rasain, makanya jangan nyindir mulu!" sinis Rara. "Nikah sonoh, umur udah tua juga!" sambung Rara yang membuat Raka berdecak sebal karena adiknya.
Andai saja Rara orang lain, mungkin Raka sudah memukulnya dari tadi karena telah lancang berbicara kepadanya.
"Ya ampun, Raka! Rara! Apa-apaan kamu? Beresin cepat!" teriak Ana saat keluar dari kamarnya dan menuruni tangga menghampiri putra putrinya.
"Rara cape, buk. Abang saja lah, dia kan gak hamil jadi gak ngerasa cape," suruh Rara menunjuk wajah Raka.
"Apa kamu bilang? Gak cape? Why! Abang selama ini kerja! Ngurusin perusahaan Ayah! Dan kamu se'enak jidat aja bilang kalau abang gak cape?! Mikir!" sewot Raka menatap sang adik dengan tajam.
"Bu ... abang jahat," adu Rara matanya berkaca-kaca.
"Ck! Adik laknat. Mentang-mentang lagi bunting, manjanya kelewat jalan tol!" sindir Raka bersedekap dada.
"Raka!" gertak Ana memplototin putranya.
"Kamu yang beresin, nak. Adikmu lagi bunting, mungkin dia beneran cape," ujar sang mama lembut.
Raka membuang napas gusar, tangannya memukul pelan busa sofa. Lalu pandangannya ke arah Rara yang sedang meledeknya.
"Iya, buk. Raka beresin," pasrahnya berdiri dan berjalan mengambil sapu di belakang.
Ana menggeleng-geleng kepala melihat kedua anaknya yang selalu bertengkar dari dulu hingga sekarang akibat hal sepele. Ana duduk di atas sofa, tepatnya di samping Rara.
"Bu ...."
"Hemm." Ana berdehem sembari memejamkan matanya dan menyenderkan punggungnya.
"Rara kangen sama Rio," ungkap Rara langsung memeluk tubuh Ibunya.
"Teruss?"
"Rara ingin suami Rara ada disini," jawab Rara mulai terisak.
Ana membuka matanya lalu membenarkan posisi duduknya. Tangannya mengusap punggung lebar Rara sembari membuang napas cape.
"Sudah lah, baru sehari masa udah kangen?" kekeh Ana yang masih mengusap punggungnya.
"Rara kangen!" rengek Rara semakin terisak.
"Kangen abang yaa?" tanya Raka yang tiba-tiba datang sambil membawa sapu serta tempat sampah.
"Ge'er amat sih!" jawab Rara sebal.
Raka menyengir, mengahmpiri mereka. "Ya kali gitu, kamu kangen sama abang. Kan, secara kamu jarang ngeliat abangmu yang ganteng ini," pujinya sendiri.
Membuat Rara ingin muntah melihat tingkah lakunya, sementara Ana malah tertawa kecil karena Raka yang mencoba membujuk Rara agar tidak menangis lagi.
"Sudah lah, dek. Ngaku saja, kau ini kangen kan sama abang?" selidik Raka menyipitkan matanya.
"Gak!"
"Heleh! Gak mau ngaku," balas Raka mencolek lengan kanan Rara, sehingga Rara bergidik ngeri.
"Ih gak mau, gak suka, gelay!" jawab Rara mengusap lengannya yang tadi bekas usapan Raka.
'Astagfirullah, saking adik kalau bukan ... udah gue panggang!' batin Raka sewot.
_
Rio baru saja sampai di rumahnya, dia menggendong Tara masuk ke dalam lalu duduk di ruang tamu.
Sebelumnya Rio sudah memata-matai istrinya di sana, batin Rio sudah bulat kalau Rara ada di London. Jika bukan, dia pun sudah melacak keberadaannya di mana pun itu.
"Om, Tala mau bobo!" rengek Tara mengguncangkan leher kekar Rio.
"Bentar dulu, Tara. Om lagi pusing," keluh Rio memijat keilningnya yang terasa cenat-cenut.
Dret ... dret ....
"Siapa sih? Ganggu aja deh!" gerutunya merogoh ponsel di dalam saku. Keningnya berkerut melihat nomor baru di layar. Karena penasaran, Rio pun mengangkatnya.
"Siapa?"
["Hallo, Rio sayang."]
'Renata,' batin Rio saat mengetahui suara perempuan di sembrang sana.
"Mau ngapain?" tanya Rio dingin dan mencoba tenang.
["Aku kangen sama kamu. Ketemu yuu?"]
Rio berdiam sejenak, memikirkan ajakan dari Renata. Menit kemudian, Rio tersenyum nyungging. Karena ini salah satu rencananya agar dia bisa membalas dendam.
"Di mana?"
["Di cafe dulu yang sering kita makan, Sayang. Kamu inget kan beb?"]
"Aku ingat," jawabnya dingin.
["Oh, oke. Kalau ingat, aku tunggu sayang. Sampai jumpah nanti malam beby."]
"Brengsek!" umpat Rio saat hubungan telpon terputus.
Amarah Rio semakin memuncak kalah mengingat rencana licik Renata yang sudah berani memasuki rumah tangganya.
Dia ingin sekali mengamuk sedetik itu juga, namun karena ada keberadaan Tara. Emosinya di pendam terlebih dahulu.
Sorry ye, aye lama up🙏ada masalah dikit hehe jadi gak sempat up😗enjoy reading✊
Tekan bintang⭐
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Gendut Milik Mafia [SEGERA TERBIT]
Fiksi Penggemar"Ketika cinta tak memandang fisik, disitulah kebahagiaan yang sesungguhnya tumbuh," Rara. Belum di revisi, jadi maklumi aja ceritanya amburadul. Versi cetak sama yang di WP, nanti beda ya🦋🤙. Buang Negatifnya dan ambil Fositifnya dari dalam cerita...