Setelah puas membunuh Renata, Rio meletakkan pisaunya di lemari kesayangannya.
Dia keluar dari ruangan itu menuju depan. Lalu memerintah untuk membereskan mayat si perempuan licik itu.
"Kasih tubuhnya ke buaya," titah Rio kepada anak buahnya.
"Siap, bos!"
Rio pergi ke mobilnya dan masuk, dirinya sudah tenang karenanya. Buktinya pun sudah ada untuk memberitahukan kepada mertuanya agar dia mau memaafkan.
Begitu juga dengan istrinya, Rio sangat-sangat rindu oleh pelukan dari dia. Sekarang ini, Rio memikirkan untuk menemui sang istri di sana.
Dia sudah tak sabar untuk membawanya kembali ke rumah mereka. Di tambah lagi, bakal ada anak kecil di kehidupan mereka berdua. Indah bukan?
Rio melajukan mobilnya ke jalan raya sembari tersenyum senang.
_
"Om! Tala takut!" teriak Tara ketika bangun dari tidurnya dan melihat sekeliling kamar tidak ada Rio.
"Om ...," panggil Tara mulai menangis. Dia menangis sesenggukan sambil menutup wajahnya menggunakan tangan gembulnya.
"Kenapa nangis sayang?" tanya Rio dari pintu. Tara yang mendengar suara itu, seketika mendongak.
"Om!" girang Tara turun dari kasur dan lari ke Rio.
Rio merentangkan tangannya dan memeluk tubuh gemuknya Tara dengan erat.
"Tara kenapa nangis?" tanya Rio menghapus sisa air mata Tara.
"Tala takut!" tangis Tara kembali. Rio hanya terkekeh melihatnya, lalu mencubit pipi gembul Tara dengan gemas.
"Tara mau ikut om gak?"
"Kemana, om?"
"Kita ke London, nyusul istri om," jawab Rio mendekati ranjang, dan menurunkan Tara dari gendongannya.
"Tala mau ikut om!" seruh Tara berjingkrak-jingkrak di atas kasur. Rio hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Tara yang begitu lucu.
"Belangkatnya kapan, om?" bingung Tara duduk di dekat Rio.
"Nanti malam," jawab Rio mengusap rambut Tara dengan sayang.
"Yeay!" girang Tara menepuk tangannya berulang kali karena merasakan bahagia.
_
Kini malam telah tiba, seperti ucapan Rio yang akan menyusul sang istri ke London.
Rio dan Tara sudah ada di bandara, membawa sedikit bekal untuk berjaga-jaga takut nanti Tara laper ataupun haus.
Jika di lihat, Rio seperti ayahnya Tara menurut orang-orang di sana. Di tambah Rio mempunyai wajah tampan dan menawan, bagi siapapun akan terkagum melihatnya. Tubuh tinggi dan kekar membuat dirinya gagah.
Berpakaian jas hitam lekat yang di balutin oleh dasi bermotif bola-bola warna merah, style rambutnya yang cukup keren, benar-benar penampilan Rio kali ini memikat kaum hawa di bandara sana.
Rio menggendong Tara memasuki ke dalam pesawat yang di iringi beberapa bodyguard. Rio menduduki bangku paling depan.
Setelah cukup lama, kini pesawat mulai berjalan dan terbang menuju London.
"Tunggu aku, Sayang," gumam Rio senang sambil melihat ke luar jendela.
_
Rara dan Raka sedang berada di ruang tamu sambil menyindir satu sama lain.
"Abang yang terlalu jelek, bukan aku!" sinis Rara melipatkan kedua tangannya dan memasang wajah remeh di hadapan Raka.
"Enak saja! Kamu yang jelek!" bantah Raka tak terimah.
"Abang udah tua! Sudah bau tanah!" maki Rara.
"Dari pada kamu, bau telor tembuhuk!" sahut Raka mengejek.
"Abang!" teriak Rara benar-benar muak dengan kelakuan abangnya yang sedari tadi gak mau mengalah oleh dirinya.
"Rara, Raka! Kalian mau sampai kapan berantem terus?! Ibu sudah cape denger omongan kalian!" hardik Ana memijat pelipisnya keningnya.
"Sampai Upin Ipin kakek-kakek!" sahut mereka barengan.
"Astagfirullah," ujar Ana mengusap dadanya sambil menggeleng kepala melihatnya.
"Sini kamu!" geram Ana memerintah Raka dan Rara mendekati Ana yang tengah berdiri sembari bertolak pinggang.
Raka dan Rara hanya menurut dan menunduk takut ketika wajah ibunya seperti itu.
Ana menjewer telinga Raka dan Rara dengan kedua tangannya, benar-benar pusing di buatnya.
"Kalian tuh gak ada akur-akurnya!" marah Ana.
"Ampun buk, telinga Rara sakit," keluh Rara.
"Raka juga, buk! Sakit bangett," timpal Raka juga.
"Kalian harus janji jangan seperti ini lagi. Kalian sudah dewasa! Dan kamu Rara, kamu lagi hamil jangan terlalu banyak marah!"
"Iya, buk."
Ana melepas tangannya dari telingah Raka dan Rara. Lalu pergi ke atas untuk mengecek perkembangan Adi.
"Abang sih gara-garanya!" tuduh Rara menghentakan kakinya di lantai.
"Dih, abang pula yang di salahin. Kan kamu yang duluan!" sahutnya.
"Dasar jelek!" ejek Rara dan melengos pergi ke kamarnya.
'Perasaan gue mulu yang selalu salah?' bingung Raka menggaruk keningnya.
Sory for typo
Enjoy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Gendut Milik Mafia [SEGERA TERBIT]
Fanfiction"Ketika cinta tak memandang fisik, disitulah kebahagiaan yang sesungguhnya tumbuh," Rara. Belum di revisi, jadi maklumi aja ceritanya amburadul. Versi cetak sama yang di WP, nanti beda ya🦋🤙. Buang Negatifnya dan ambil Fositifnya dari dalam cerita...