Holiday Agreement 2

562 44 6
                                    

Sebelum membaca yuk jangan jadi silent reader lagi dan tunjukkan dukungan kalian dengan komen dan...

Sebelum membaca yuk jangan jadi silent reader lagi dan tunjukkan dukungan kalian dengan komen dan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pesanan datang. Lastri dan pria itu mulai menyantap pesanan mereka. Jujur saja, situasi ini benar-benar tidak terduga untuk gadis itu. Ia bahkan lebih berdebar saat ini. Ketimbang dengan saat menemui Pak Tedjo dan Bu Pudjo. Semua berhubungan dengan kondisi yang tengah Argi alami. Apakah berhubungan dengan kakaknya? Kenapa waktu itu ia menanyainya soal Rumah Wijaya?

Apakah berhubungan dengan pria sibuk yang tampak berwibawa di hadapannya?

"Pak..." ucap Lastri pada akhirnya. Ia tak sabar lagi. Ia merasa ini sudah waktunya ia melontarkan semua pertanyaan. Yang tertahan sejak pertemuan mereka di lift kemarin.

Pria itu menutup laptopnya dan melihat Lastri. "Apa tidak susah kalau kamu makan sambil tetap memakai itu?" tunjuknya ke masker di wajah Lastri. Ia akan makan dengan memasukkan suapan ke bagian bawah masker menuju mulut.

Lastri menjawab, "Tidak. Saya sudah terbiasa."

"Baiklah. Apa pun alasan yang membuat kamu seolah harus mengenakannya. Mari kita mulai tujuan utama pertemuan hari ini.

"Apa yang terjadi pada adik saya dua minggu yang lalu?" tanyanya.

"Kami berdua mengalami kecelakaan karena terpeleset ke sungai. Itu saja," jawab Lastri.

"Kalau soal itu juga saya sudah tau dari guru. Saya sangat mengenal adik saya. Dia bukan orang ceroboh yang akan terjatuh ke sungai saat sedang ngobrol berduaan dengan pacarnya."

Lastri berusaha menyanggah sebelum kesalahpahaman menjadi semakin tak terkendali, "Kami tidak..."

"Saya tidak peduli apa pun hubungan kalian. Kalian pasti habis membicarakan topik yang sangat serius. Hanya hal seperti itu yang bisa membuat dia sampai lalai dari keadaan sekitarnya," lanjut pria itu.

"Saya tidak bisa menjawabnya," jawab Lastri.

"Apa kalian habis membicarakan sesuatu tentang Rumah Wijaya?" tanya pria itu.

Degh. Lastri menjawab, "Rumah Wijaya, Rumah Wijaya, Rumah Wijaya terus. Adik dan kakak tidak ada bedanya. Kenapa tidak Anda tanyakan saja hal itu pada Argi sendiri? Apa yang sudah Anda lakukan padanya sampai tidak masuk selama ini? Urusan keluarga? Itu semua bohong, 'kan? Mungkin Anda merasa memiliki kekuasaan yang besar. Sehingga bebas mengalihkan kenyataan. Tapi, Argi itu..."

"Kamu... cukup banyak bicara, ya," potong pria itu dengan aura cool. Menyikapi "cerocosan" Lastri.

Glekh. Nafsu yang tidak baik sampai membuatnya lupa diri. Penampilan kasual pria itu yang santai juga sudah membuatnya lupa diri. Mencari masalah dengan orang sekelas Nityasa Boy Senior tentu bukan pilihan baik. Apalagi untuk seorang siswa SMA yang mengandalkan beasiswa dari perusahaan besar. Dan calon budak korporat sepertinya.

Langsung direndahkan kepalanya dalam-dalam. Berkata, "Tolong maafkan saya. Saya sangat menyesal, Pak. Saya akan melakukan apa pun agar Anda bersedia melupakan sikap congkak saya. Saya benar-benar..."

"Life doesn't have any hands, but it can sure give you a slap sometimes," potong pria itu seraya menyeruput minumannya.

Lastri benar-benar "tidak profesional". Sebagai anak asuh di panti asuhan yang sudah menelurkan puluhan ahli di bidangnya masing-masing. Hanya karena pria yang ia hadapi adalah kakak teman sekelasnya.

Atau karena alasan lain?

"Sudah, lupakan saja. Saya mengajakmu bertemu di sini bukan untuk larut dalam drama penyesalan atau salah tingkah. Saya juga tidak peduli apakah kamu anggota dari Rumah Wijaya atau bukan.

"Bukan itu yang saya inginkan."

"Lalu, apa yang Anda ingin inginkan dari saya?" tanya Lastri.

Gotcha. Ucapan itu memang yang ia tunggu sejak tadi. Ia memang sengaja membuat situasi jadi canggung untuk Lastri. Agar ia jadi lebih mudah dikendalikan.

Sepintar atau seintelektual apa pun gadis itu sebenarnya. "Ambisi" yang ia miliki justru jadi "simpul mati".

"Saya ingin kamu memastikan bahwa adik saya tidak akan pernah lagi diizinkan. Untuk mengikuti kegiatan luar sekolah apa pun. Saya juga ingin kamu melaporkan semua hal yang terjadi padanya selama di sekolah. Saya akan beri kamu kontak dua orang bodyguard-nya. Kamu bisa minta mereka untuk melakukan apa pun.

"Pokoknya saya akan benar-benar marah sampai kecolongan lagi seperti kemarin."

"S-Sebentar, Pak. Kenapa Anda tiba-tiba meminta saya melakukan itu semua? Saya tidak mau. Argi adalah teman sekelas saya yang berharga. Saya tidak akan mengkhianatinya," sela Lastri.

"Kamu akan lebih mengkhianatinya kalau tidak menerima penawaran saya."

"Kenapa?" tanya Lastri.

"Karena saya tidak akan pernah membiarkan dia keluar dari kamarnya lagi," jawab pria itu datar.

Lastri membelalakkan kedua mata tak percaya. Manusia macam apa yang sedang ada di hadapannya kini? Apakah dia adalah "sesuatu" yang membuat Argi enggan keluar dari hutan? Membuatnya histeris seperti kesetanan?

Psikopat?

Alien?

Posesif?

Paranoid?

Skizofrenia?

Brocon?

What the fuck...

[TERIMA KASIH BANYAK untuk kalian yang sudah memutuskan untuk mengikutiku, menambah cerita ini ke perpustakaan/daftar bacaan kalian, membaca, berkomentar, atau memberi vote di bab mana saja. Aku sangat menghargai itu dan aku harap kalian terhibur dengan cerita buatanku -.<]

Menurutmu kakak Argi itu yang mana?

Ikuti terus ceritanya, ya!

Pet/BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang