Bis mereka akhirnya tiba di kota tempat tujuan. Hari sudah sore, tapi langit masih cukup terang. Hawa dan anginnya juga terasa sangat enak (untuk leyeh-leyeh). Membuat mereka jadi sangat semangat (untuk tidur).
"Lastri," panggil Galuh dan Luthfi bersamaan. Kedua remaja laki-laki itu langsung saling pandang.
Lastri yang sudah lelah ingin segera masuk kamar penginapan dan istirahat. Langsung ngedumel tanpa suara di balik maskernya, PRX\TPRX\T&-]"Z&-]"Z!!!
"Anak OSIS tuh ngurusin hal lain sana. Masalah bantu Lastri bawa kopernya biar siswa biasa ini saja," ucap Luthfi seraya menepuk dada.
"Aduh, Luthfi, kamu kan punya badan yang kuat dan semangat tinggi. Mending kamu bantu para guru dan pengawas. Bawaan mereka lebih banyak," balas Galuh.
"Anu, aku bisa lewat dulu tidak?" tanya Lastri malas. Mana Ratna yang sudah molor sejak masih di bus. Sudah cap go saja masuk ke dalam penginapan.
"Hei, membantu para guru itu tugas utama OSIS, 'kan?" tanya Luthfi.
"Tentu saja. Tapi, anggota OSIS juga punya kewajiban untuk membantu sesamanya," balas Galuh.
Dari belakang keduanya. Tiba-tiba muncul Ratna dengan aura semengerikan penunggu daerah sana. Berkata, "Kalian berdua ini mau aku baksoskan ke kandang buaya apa bagaimana?" tanyanya.
"Ratna, aku cuma pengen bantuin Lastri bawa barang-barangnya," ucap Luthfi so' gentle.
"Aku juga sama. Lastri kan teman dekatku di OSIS," ucap Galuh lebih berlagak acuh tak acuh.
Ratna langsung memicingi dua remaja laki-laki itu. Berkata, "Mengangkat tas begini saja sih Ratna juga bisa. Lakukanlah hal yang lebih berguna kalau kalian memang laki-laki, huh!" dengusnya kesal. Mengangkat satu koper berukuran sedang milik Lastri. Dan kembali ke penginapan bagian perempuan.
Lastri langsung mengejar Ratna. "Jangan galak-galak sama laki-laki. Nanti kamu susah dapat pacar, lho. Khi khi khi," tegur Lastri seraya menutupi lekuk mulutnya yang tampak di balik masker dengan telapak tangan.
"Lastri sayang, kamu ingat kan apa janjiku. Aku akan melindungi kamu apa pun yang terjadi," tekad Ratna.
"Whuu~♥"
Ξ Ξ Ξ
Di penginapan bagian laki-laki. Berbeda dengan siswi yang mendapat satu kamar untuk dua orang dengan satu kamar mandi. Para siswa mendapat satu kamar untuk empat orang dengan kamar mandi umum untuk bersama.
Sadap jiwa diskriminasinya.
"Kamu kenapa? Lagi sakit, tho?" tanya Dwimas, seorang teman sekamarnya, melihat wajah Argi cukup pucat.
Argi langsung menggeleng. "Haha, mana ada. Tidak. Kurang tidur saja tadi malam," jawabnya.
"Tapi, nanti acaranya berat, lho. Kalau lagi nggak enak badan izin saja," saran Iki, teman sebangku Dwimas saat di bis tadi.
"Kalau aku ingin izin. Aku tidak akan datang," jawab Argi menenangkan. Tubuhnya memang sedang sakit. Kurang tidur. Kurang makan. Ditambah sejak kemarin sudah melalui "simulasi" neraka jahanam.
Kalau diizinkan juga rasanya ia ingin pingsan saja sampai satu minggu ke depan. Tapi, akal sehatnya tidak mengizinkan hal itu. Mengingat Lastri yang begitu kuat melakoni banyak aktifitas. Sekalipun dengan tulang tangan yang sudah tidak sempurna. Membuatnya malu jika harus menyerah begitu saja.
Ia tak akan berhenti sebelum merasakan perasaan ingin mati.
"Haduh, padahal sejak tadi cuma ada di dalam bis saja. Tapi, panasnya sudah seperti simulasi alam Barzakh. Aku mau mandi dulu, deh," ucap Dwimas, "Ki, intipin kamar mandi, dong. Ngantri gak?" tanyanya.
Iki melihat ke luar pintu menuju arah kamar mandi yang berada segaris dengan kamar mereka. "Lumayan rame ternyata. Aku juga mau mandi deh kalau begitu. Biar waktu acara nanti wangi waktu dilihat sama ukhtie-ukhtie desa. Mwehehehe~..."
"Ya sudah, kita berdua mandi dulu, deh. Kalian tidak mau ikut?" tanya Dwimas.
Arta langsung menggelengkan kepala cepat. "Tidak, ah. Jijik aku mandi lihat batang dan bol kalian," tolaknya enteng.
Dwimas dan Iki tertawa menanggapi lelucon Arta. Mereka pun keluar dan menutup pintu. Blam.
"Terima kasih, Ta," ucap Argi.
"No worry," respon Arta. Memegang salah satu bagian wajah Argi dengan punggung tangan. "Badan kamu sedikit hangat, ya. Sudah aku duga kamu tidak baik-baik saja. Kenapa, sih?" tanyanya.
Argi mendirikan tubuh dan mengabaikan pertanyaan Arta. "Sepertinya aku akan menyewa kamar mandi sendiri di sekitar sini. Aku tidak bisa mandi bersama orang lain."
"Yah, tidak masalah sih kalau untukmu. Ngomong-ngomong mana dua pengawalmu yang wajahnya seperti bintang laut itu?" tanya Arta.
Bukannya menjawab pertanyaan Arta. Argi malah terdiam menatap wajahnya di depan cermin. Tatapan matanya yang kosong seperti ikan mati. Kulitnya yang pucat seperti mayat. Wajah yang lesu dengan senyuman terpaksa.
Mengingat lagi semua yang sudah ia lakukan demi berdiri di tempat itu saat ini.
"Aku tidak mengerti sih apa yang terjadi pada keluarga Nityasa. Tapi, kalau butuh sesuatu. Kamu bisa cerita kapan saja," ucap Arta berusaha menenangkan Argi. Kelihatannya penyebab ia jadi begitu murung di hari yang sudah lama dinanti ini. Berhubungan dengan keluarga yang selalu enggan ia bicarakan.
"Ahahaha, apa, sih? Jangan parnoan, deh. Tidak ada apa pun dengan keluargaku, kok."
[Kalau kamu suka cerita ini jangan lupa masukkan dalam daftar favoritmu untuk mengetahui update terbarunya -.<]
Apa yang akan terjadi selanjutnya di acara baksos ini? Apa semua akan berjalan baik-baik saja sesuai rencana? Ikuti terus ceritanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pet/Brother
General FictionDON'T COPY MY STORY! DILARANG PLAGIAT! [BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sudah bertahun-tahun lamanya Argi hidup sebagai adik sekaligus "peliharaan" kakak laki-lakinya. Dan semua berjalan "baik-baik" saja. Namun, semua berakhir ketika ia terhubu...