Hysteria

662 44 0
                                    

Sebelum membaca yuk jangan jadi silent reader lagi dan tunjukkan dukungan kalian dengan komen dan...

"AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! WAAAKKHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! HWAAAAAAAAAAAAAAKKKKKHHHHHHHH!!!!!!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! WAAAKKHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! HWAAAAAAAAAAAAAAKKKKKHHHHHHHH!!!!!!!"

Argi masih berteriak-teriak ketakutan dan tidak terkendali. Sejak ia sadar setelah ditemukan dalam kondisi yang tak kalah menyedihkan dibanding Lastri. Oleh supir ambulance di tengah perjalanan menuju rumah sakit. Dari segi fisik mungkin ia tak sampai mengalami koma seperti Lastri. Tapi, ada banyak bekas luka di tubuhnya yang sangat kotor. Pakaian yang ia kenakan sudah sobek di banyak bagian. Entah apa yang ia alami selama menyusuri hutan mencari keselamatan.

Sangat menyedihkan.

Ξ Ξ Ξ

Galuh dan Arta di ruang tunggu. Sofia datang menghampiri mereka sambil membawa tiga kaleng kopi hitam untuk menyegarkan mata. Ckles. Galuh langsung membuka dan meminumnya. Sementara Arta hanya memegang kaleng berwarna cokelat itu saja.

"Kami sudah menghubungi perwakilan panti asuhan Lastri mengenai perkembangan keadaannya. Bagaimana dengan Argi?" tanya Sofia melirik Galuh. Galuh ganti melirik Arta yang duduk di tengah mereka.

"Bagaimana kondisi Argi sekarang?" tanya Arta.

"Para perawat mengikatnya ke tempat tidur karena dia terus berteriak dan meronta untuk kabur. Di bagian kulit dalam tubuhnya seperti dada, punggung, dan paha pun ada banyak bekas luka. Entah luka karena apa. Kelihatannya bukan bekas luka baru," jawab Sofia.

"Apa dia sudah bisa diajak bicara?" tanya Galuh.

Sofia menggeleng. "Sama sekali tidak bisa. Dia benar-benar terlihat ketakutan," jawabnya.

"Apa yang sebenarnya dia saksikan selama terjebak di dalam hutan?" tanya Galuh.

"Aku rasa bukan itu," sangkal Arta.

"Apa maksudmu?" tanya Galuh.

"Ini baru perkiraanku. Mungkin bisa aku pastikan setelah bertemu dengannya. Kapan aku boleh masuk ke kamarnya?" tanya Arta.

"Ah, jangan, deh. Dia masih harus banyak beristirahat. Aku tadi kalau tidak untuk mengantar Bu Niken juga tidak akan diizinkan masuk," jawab Sofia.

"Sofia, Galuh," panggil Arta.

"Apa, sih?" respon Galuh malas.

"Apa kalian masih ingin memberitahu keadaan Argi saat ini pada keluarganya?" tanya Arta.

"Tentu saja," jawab Sofia cepat.

Galuh menggaruk-garuk belakang kepalanya. Entah karena pusing atau memang kutuan. "Ahh, walau kami tidak harus membutuhkan persetujuanmu. Karena ini menyangkut permintaan Argi sendiri..."

"Akan aku pastikan sendiri apa Argi ingin kita menghubungi keluarganya atau tidak," ucap Arta.

"Bagaimana caranya?" tanya Galuh.

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tapi, percayalah padaku. Hanya aku yang bisa melakukan ini," jawab Arta percaya diri.

Galuh melihat Sofia. Sofia balik menatap Galuh. Keselamatan sebuah nyawa benar-benar sedang dipertaruhkan sekarang. Satu kesalahan akan menghancurkan segalanya. Haruskah mereka bertaruh?

Ξ Ξ Ξ

"AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! WAAAKKHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! HWAAAAAAAAAAAAAAKKKKKHHHHHHHH!!!!!!!"

Argi masih berteriak dan meronta-ronta ketika Arta pada akhirnya menemuinya seorang diri di kamar. Arta memandang wajah sobatnya itu prihatin. Ia sentuh punggung tangannya yang terikat kuat pada pinggiran tempat tidur rumah sakit.

"Argi," panggil Arta.

Argi jadi sedikit lebih tenang kala mendengar panggilan lembut Arta. Tubuhnya masih sedikit bergerak-gerak. Tapi, sudah tidak sebertenaga tadi. "Arta... Arta... Arta... apa itu kamu?" tanyanya dengan pandangan mencari-cari. Matanya pasti buram karena habis deras mengucurkan air mata.

Arta pun duduk di sisi tempat tidur Argi. "Selamat pagi, Argi. Apa kamu sudah sarapan?" tanyanya.

"Hhh... hhh... hhh... ahh, aku tidak..."

"Tidak apa-apa kalau kamu belum mau makan. Akan aku potongkan buah, ya. Kamu mau buah apa?" tanya Arta melihat ke keranjang buah yang ada di atas meja dekat sana.

"Terserah," jawab Argi membuang muka. Mulai berusaha mengambil alih kendali akan tubuhnya.

Arta pun mengambil sebuah pisang. "Kalau begitu pisang, ya. Apel dan salak bisa jadi terlalu keras. Sementara pir takutnya terlalu asam. Semangka dan pepaya terlalu banyak bijinya. Nanas dan durian susah mengupasnya. Mau buah srikaya makannya susah. Buah naga di sini tidak ada. Yang ada malah mulutku bau naga. Hmm..."

"Aha-ha-ha-ha-ha," tawa Argi tiba-tiba pecah saat mendengar pertimbangan Arta. "Kamu pikir mau mengupasi buah untuk aki-aki di panti jompo apa bagaimana?" tanyanya geli.

Arta turut tersenyum. "Apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanyanya.

Senyum di wajah Argi kembali mengempis. "Sama sekali tidak, Ta. Aku hanya ingin semua ini segera berakhir." Air matanya kembali menetes.

Sudah aku duga. Dia sama sekali tidak mengalami kejadian yang orang-orang bayangkan saat berada di dalam hutan. Jadi, apa alasan histerianya?

[TERIMA KASIH BANYAK untuk kalian yang sudah memutuskan untuk mengikutiku, menambah cerita ini ke perpustakaan/daftar bacaan kalian, membaca, berkomentar, atau memberi vote di bab mana saja. Aku sangat menghargai itu dan aku harap kalian terhibur dengan cerita buatanku -.<]

Apa yang membuat seseorang hancur belum tentu sama dengan yang orang lain pikirkan.

Kalau kamu apa?

Ikuti terus ceritanya!

Pet/BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang