The Captive

2.7K 148 8
                                    

Dag dig dug dag dig dug. Tubuh Argi hanya diam terbaring di atas kasur. Karena kedua tangannya diikat di belakang punggung. Memosisikan tubuh telentang tentu tidak akan nyaman. Alhasil ia lebih banyak miring ke kiri atau ke kanan.

Untuk kali ini sengaja ia belakangi pintu kamar. Ia sangat berdebar sekaligus khawatir menunggu kedatangan kakaknya. Ia memang sudah sangat terbiasa diikat sepanjang waktu. Tapi, kalau kakaknya yang nyaris selalu sibuk mengurus bisnis. Sampai menyempatkan diri datang ke gubuk di pemukiman padat penduduk ini.

Sesuatu yang "spesial" biasanya akan terjadi.

TING. Lift yang ada di dalam kamar Argi berbunyi. Pertanda ada yang sedang menggunakan. Karena kakaknya sendiri sangat jarang menggunakan benda itu. Ia sampai lupa akan keberadaannya. Ditambah karena warna yang nyaru dengan warna dinding. Lift terletak tidak jauh dari pintu masuk.

Degub di jantung Argi semakin kencang. Di satu sisi ia memikirkan kakak yang ada tepat di belakang tubuhnya. Kakak yang ia benci. Sekaligus "cintai". Di sisi lain ia juga memikirkan pesan "perhatian" yang dikirimkan oleh Lastri.

Fiiiuuh. Kakak Argi menghembuskan nafas ringan di atas telinganya. Membuat remaja itu auto merinding seketika dan membuka mata. Glek.

"Kakak... selamat datang," sambut Argi dengan raut wajah canggung. Ini baru jam sepuluh pagi. Di hari libur seperti ini pun kakaknya mengenakan stelan mewah yang biasa ia pakai saat bekerja.

"Selamat pagi, Argi," sahut pria itu tenang. Seraya melepas jas dan dasi. Lalu, membuka jam tangan kesayangannya. Produksi brand yang sudah berdiri sejak tahun 1755 silam. Jam yang diklaim sebagai yang paling rumit di dunia. Vacheron Constantin Tour de I'Ile. Ia letakkan secara perlahan di atas meja rias.

"Kak..." panggil Argi pelan. Khawatir. Takut. Cemas. Semua mengerubungi perasaannya. Tapi, ia tak bisa diam saja. Setelah semua yang Iwan katakan.

"Apa?" respon pria itu seraya melangkah ke tempat tidur adik "kesayangannya". Duduk di tepian sambil menyender di bantal kepala tempat tidur.

"Aku sudah mengatakan ini pada Bagas dan Iwan sejak jauh-jauh hari. Apa Kakak tau apa yang sedang aku bicarakan?" tanya Argi.

Pria itu menggelengkan kepalanya pelan dan elegan. "Tidak," jawabnya.

"Apa mereka tidak mengatakan apa pun pada Kakak?" tanya Argi.

"Kakak sedang sangat sibuk akhir-akhir ini, Argi. Mungkin mereka mengatakannya, tapi ada terlalu banyak hal yang harus Kakak pikirkan sekarang," jawab pria itu tanpa intonasi.

Mendengar kakaknya mungkin sedang ada dalam perasaan tidak baik. Benar-benar membuat Argi berpikiran semakin buruk. Perasaannya sangat tidak enak. Sepertinya ia harus mengganti topik. "Berapa lama Kakak akan ada di sini?" tanyanya.

Raut tenang pria itu jadi tampak terusik mendengar pertanyaan adiknya. "Mungkin satu malam," jawabnya.

"Kak..."

"Argi, kamu itu laki-laki. Kalau bicara jangan bertele-tele. Kakak sangat menyayangi kamu dan akan memberikan semua yang terbaik untuk kamu. Karena itu jangan..."

"Aku ingin ikut bakti sosial ke luar kota besok," ucap Argi pada akhirnya. Dua bodyguard kampretnya itu pasti tak menyampaikan pesannya pada kakaknya. Atau memang disampaikan. Tapi, kakaknya tak sepeduli itu pada urusannya.

"Tidak boleh," respon kakaknya cepat.

"Kak!" panggil Argi meninggikan oktaf suara.

"Itu berbahaya, Anargya. Kamu bisa kena infeksi penyakit, kuman, kotoran, bau yang tidak enak, pemandangan yang tidak bagus, cuaca yang tidak bersahabat. Kenapa kamu menginginkan hal seperti itu? Bukankah kamar nyaman dan rumah di mana semua kebutuhanmu terpenuhi. Itu yang paling sempurna?" tanya kakaknya balik.

Argi berusaha menggerakkan tangannya yang nyaris mati rasa. Juga borgol yang menahan satu kakinya. Itukah yang kakaknya anggap sebagai "kesempurnaan"?

Bodoh sekali.

"Kamu tidak perlu ikut acara-acara semacam itu. Katakan saja kamu tidak bisa ikut. Akan Kakak kirim uang untuk mengganti kehadiranmu. Berapa nomor rekeningnya?" tanya pria itu seraya membuka m-banking di smartphone.

"Tidak semua hal bisa diselesaikan oleh uang, Kak," balas Argi.

"Tentu saja bisa. Mereka tidak membutuhkanmu, Argi. Yang mereka butuhkan itu hanya uangmu," balas kakaknya datar.

"Tapi..."

Pria itu mengacak-acak poninya. Menghela nafas kesal. Haahh. Ia lepas borgol yang menjerat satu kaki Argi. Cklek.

"Apa yang..."

"Perasaan Kakak benar-benar sedang buruk sekarang, Anargya," ucapnya seraya memasangkan kalung anjing di leher adiknya. Heekh. Argi tak mengatakan apa pun lagi. Hanya menunduk lesu.

"Ayo kita ke playroom

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ayo kita ke playroom. Setelah itu kamu bisa memutuskan lagi akan tetap ikut acara orang susah itu. Atau menurut pada Kakak," ucap pria itu seraya menarik rantai kalung di leher Argi. Menuju suatu pintu kecil rahasia yang ada di sana.

Tidak...

Tidak boleh...

Argi!

[Kalau kamu suka cerita ini jangan lupa masukkan dalam daftar favoritmu untuk mengetahui update terbarunya -.<]

<]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pet/BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang