Impostor 1

317 14 2
                                    

HALLOOO BESTIII maap yak lama update Noir abis kembali dari belantara pencari nafkah, uhuk. Nah, mari kita sebelum membaca yuk jangan jadi silent reader lagi dan tunjukkan dukungan kalian dengan komen dan...

 Nah, mari kita sebelum membaca yuk jangan jadi silent reader lagi dan tunjukkan dukungan kalian dengan komen dan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meski hanya dari kejauhan karena sekarang Argi nyaris selalu menempel pada Lastri. Arta menyadari perubahan pada kondisi fisik sahabatnya.

Pertama: dari jalannya yang sekarang jadi sangat pelan. Karena Argi memiliki kaki yang cukup panjang. (Dulu) ia biasa melangkah dengan langkah besar yang membuat jalannya menjadi cepat. Tapi, sekarang baik sedang berjalan bersama Lastri atau tidak. Jalannya jadi lebih pelan.

Kedua: dari reseptor kulit punggungnya. Dulu Argi itu, seperti anak cowok lain, hobi gebak-gebuk saja sebagai tanda keakraban. Sekarang dia jadi lebih sensitif. Dan menghindari segala bentuk kontak fisik dengan orang lain. Lastri juga (seperti) secara alamiah reflek melindungi Argi. Seolah sudah tau apa yang terjadi padanya.

Ketiga: dari investigasi Arta pada teman-teman sekelas Argi.

"Iya. Akhir-akhir ini Argi jadi kayak beda gitu."

"Dia jadi seperti ketergantungan pada Lastri."

"Dan lebih menutup diri dari teman yang lain."

"Lastri apa main pelet ya?"

"Hush! Yang ada tuh Argi yang ngepelet Lastri."

"Benar. Cewek tinggi, cool, misterius, sholehah, jenius, ramah, keren, serba bisa..."

"Dan mantan atlet berprestasi seperti dia mau cari di mana lagi?"

"Heh, apa jangan-jangan waktu itu dia semalaman di hutan mendalami ilmu pelet?"

"Apa keluarga Nityasa melakukan pesugihan?"

"Siapa yang jadi tumbalnya?"

"Jangan-jangan..."

Dan begitulah bagaimana topik pembicaraan mereka. Berubah dengan mudahnya. Dari sekedar menanyakan perubahan pada diri seseorang. Berkembang secara random ke arah penyembahan iblis.

Yah, itu saja, sih. Ditambah Argi yang jadi banyak menghindar darinya akhir-akhir ini. Seperti ingin menyembunyikan sesuatu.

Arta tak ingin seseorang yang "menelanjanginya" di pertemuan pertama. Menyembunyikan sesuatu darinya.

Ξ Ξ Ξ

Di depan toilet siswi perempuan. Arta sudah seperti orang mesum yang berdiri di depan sana sejak tadi. Para siswi yang baru keluar dari kamar mandi melirikinya dengan tatapan jijik bak keong sawah.

"Kamu ngapain sih di sini, Ta," tanya seorang siswi teman sekelasnya.

Lastri keluar dari toilet sambil melap kedua tangannya. Melihat Arta dan teman sekelasnya sedang di sana. Ia langsung melengos seolah tak melihat apa pun.

"Lastri!" panggil Arta.

"Lanjutkan saja. Aku tidak ingin mengganggu," ucap Lastri.

Arta langsung menarik pergelangan tangan kiri gadis itu menuju taman diskusi sekolah.

Ξ Ξ Ξ

Taman Diskusi Sekolah alias Taman Disko.

"Apa sih, Arta?" tanya Lastri tak terima. Hendak kembali ke sisi Argi yang sedang ada di perpustakaan.

Arta tetap menahan pergelangan tangan Lastri di tempat. Memintanya duduk. "Ada yang ingin aku bicarakan."

"Aku tidak," balas Lastri.

"Ada apa dengan kamu dengan Argi?" tanya Arta.

"Sudahlah, Ta. Aku dan Argi sedang menuju tahapan yang lebih tinggi lagi." Preett. "Daripada mengkhawatirkan Argi terus lebih baik kamu cari pacar. Agar kita bisa double date. Wahahahaha!"

"Aku tau kamu bohong, Lastri," tuding Arta langsung. To the point.

"Apa, sih? Apa yang membuat kamu berpikir seperti itu?" tanya Lastri.

"Karena ini aneh. Lastri yang sangat idealis dan anti pada hubungan romantis. Sampai bersikap seperti itu pada Argi yang kritis. Pasti ada yang tidak beres sampai membuat miris, 'kan?" jawab Arta balik tanya.

"..."

"Atau perlu aku sebut kalau seperti ada udang di balik batu?" tanya Arta. Ia cengkram kedua lengan atas Lastri.

"Akh!" Lastri langsung menjerit merasakan sakit di lengan kanannya.

Arta langsung melepas tangan kanan Lastri. Tapi, tidak dengan yang kiri. "Aku minta maaf."

"Apa maumu memperlakukan aku seperti ini, Arta? Kamu kan sahabat Argi. Kenapa tidak langsung bertanya saja padanya? Sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa. Memberikan jawaban yang kamu inginkan," tanya Lastri.

"Lastri, jangan samakan persahabatanku dengan Argi seperti persahabatanmu dengan Ratna, ya. Argi itu... hanya mau memberikan kabar baik dan hal positif untuk orang di sekelilingnya. Dia tidak akan pernah mau mengatakan hal buruk soal dirinya."

Lastri menaikkan sebelah alis. "Hah?"

Arta melanjutkan, "Asal kamu tau. Anargya Nityasa itu mau habis ketabrak truk juga akan bilang kalau dia baik-baik saja di depan orang lain. Setidaknya itulah Anargya yang aku kenal. Anargya yang ingin aku lindungi."

"Kalau begitu hargailah pilihan hidup sahabatmu! Jangan terlalu mencampuri urusannya. Seolah dia masih anak TK yang harus kamu perhatikan setiap gerak-geriknya," balas Lastri tak kalah ngegas.

"Mana bisa kalau itu tidak baik? Ini sama saja seperti kamu dan Ratna. Ratna juga selalu berusaha melindungimu, bukan?" tantang Arta balik.

Lastri terdiam. Benar juga, sih. Tapi, situasi "Lastri" dan "Argi" itu berbeda. Sama berbedanya dengan "Ratna" dan "Arta".

"Jangan diam saja! Utarakan apa yang kamu pikirkan!" pinta Arta.

"Aku tidak bisa membalas. Aku kalah," ucap Lastri pelan. "Tapi..."

"Apa?!" tanya Arta sedikit menggertak.

"Aku tetap tidak akan akan mengatakan. Apa yang ingin kamu ketahui," lanjutnya.

"Kenapa?" tanya Arta.

Karena tidak mungkin aku mengatakan padamu sesuatu yang Argi sendiri tidak ketahui. "Karena bukan urusanmu," jawab Lastri. Mendirikan tubuh dan meninggalkan pemuda berambut ikal itu.

"Lastri!"

[TERIMA KASIH BANYAK untuk kalian yang sudah memutuskan untuk mengikutiku, menambah cerita ini ke perpustakaan/daftar bacaan kalian, membaca, berkomentar, atau memberi vote di bab mana saja. Aku sangat menghargai itu dan aku harap kalian terhibur dengan cerita buatanku -.<]

Ikuti terus ceritanya, ya!

Pet/BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang