Sebelum membaca yuk jangan jadi silent reader lagi dan tunjukkan dukungan kalian dengan komen dan...
"Dia kenapa, dah?" tanya Dylan pada teman-teman di sana.
Semua pria macho dengan pahatan tubuh nyaris sempurna itu hanya menggelengkan kepala mereka atau mengangkat bahu penuh tanda tanya.
Sementara itu Daru di perjalanan menuju ruang loker.
"Tidak, Ma. Aku sama sekali tidak secara diam-diam berhubungan dengan Dylan kok selama ini. Percaya dong sama aku. Please."
"Kamu sudah berani membohongi Mama, ya," tuding Alysa.
"Mana mungkin aku berani bohong sama Mama, sih? Asal Mama tau, ya. Aku ini bisa beli seribu satu rumah sendiri jauh dari rumah Papa agar tidak perlu tinggal bersama Mama dan Papa lagi kalau aku mau. Tapi, tidak aku lakukan, 'kan? Aku itu selalu berusaha menjaga kepercayaan kalian berdua, lho. Aku tidak akan melakukan hal yang sudah Mama sangkakan," jawab Daru memberi alasan seraya kerepotan mengganti pakaian.
"Lalu, kenapa anak itu mengajak kamu ke... tempat apa ini? MTC. Kalian pasti sudah sering ke sana bersama, 'kan? Begitu ya ternyata kamu selama ini. Untung saja kemarin ketahuan. Kalau tidak kamu pasti membohongi Mama lebih dari ini," tuding Alysa.
"Bukan Mama, ih. Itu tuh panti pijat langganan Daru. Daru tidak mungkin bisa melarang Dydy ke sana, 'kan? Wong dia punya langganan," tanya Daru kebingungan. Memberi penjelasan pada perempuan biasa saja sudah merepotkan. Apalagi dia adalah ibumu.
"Dydy. Ooohh, ternyata kamu bahkan punya panggilan akrab untuk anak itu, ya," tuding Alysa.
"Astoghaaa... itu hanya agar mudah saja, Mama. Kayak, Dylan, Dai~len, susah, 'kan?" sangkal Daru yang hampir selesai mengenakan pakaian.
"Cepat pulang! Mama tunggu sepuluh menit kamu belum sampai rumah akan Mama buat kamu lebih menyesal lagi," ancam Alysa.
"Daru," panggil Dylan yang berada di belakang Daru.
"Itu suara anak itu, 'KAAANN???!!!" pekik Alysa.
Reflek Daru menekan tombol memutus hubungan di layar smartphone-nya. Separuh nyawa pria muda itu seolah melayang ke nirwana.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Dylan aneh. Melihat Daru yang selalu bersikap dewasa. Sampai menggigil ketakutan seperti gadis baru putus cinta.
Daru menampik uluran tangan Dylan. Tergesa-gesa keluar dari ruang loker. Dylan langsung menahannya. Hanya ada mereka berdua di sana.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Dylan lagi berusaha cari pencerahan.
Daru diam saja. Tik tik tik. Sudah berapa lama waktu berlalu? Apa ia harus memesan helikopter agar bisa sampai di rumah tepat waktu? Ah, rasanya akan makin lama. Perasaannya benar-benar kacau kalau diminta membayangkan kejadian malam itu lagi.
Ia tak mau itu terulang. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Ketika diikat oleh sebuah rantai yang tidak terlihat.
"Tolong minggir!" perintah Daru pada Dylan yang menghalangi pintu.
"Tatap mataku!" pinta Dylan mengangkat wajah tertunduk pria itu yang tampak sangat menyedihkan.
Daru tetap mengalihkan pandangan mata dari pria di hadapannya. Dylan mendorong dagu Daru sampai punggungnya menabrak dinding. Bruuakh. Daru berusaha melepaskan diri. Tapi, ia terlalu lelah sehabis sparring. Tenaganya tidak sebanding dengan Dylan yang masih wangi dan seperti baru bangun tidur itu.
"Tolong lepaskan aku, Dy. Aku tidak mau bertemu dengan kamu lagi," pohon Daru dengan suara lemah. Tolong jangan tambahi masalah hidupku.
"Kenapa??!" tanya Dylan berkeras. Tiba-tiba ia melihat guratan luka di kedua pergelangan tangan Daru. Guratan yang mirip dengan yang biasa ada di pergelangan tangan Argi usai bermain dengannya. "Apa itu?" tanyanya.
Ah, Dydy sudah melihatnya. Haruskah ia katakan jika ia baru saja dikurung seperti binatang. Di suatu kandang kecil yang terletak di ruang bawah tanah. Selama tiga hari tiga malam karena ketahuan mamanya habis bertemu dengannya?
Haruskah?
Agar ia bersedia bekerja sama. Untuk tak menemuinya di luar urusan profesional lagi. Untuk tak menghubunginya lagi. Untuk tak bersahabat dengannya lagi.
Haruskah?
Sekalipun itu akan menyakiti hatinya sendiri. Melukai perasaannya sendiri. Membuatnya semakin putus asa karena selalu dihantui oleh perasaan menyesal dan kesedihan. Selama ini pun ia bisa bergaul dengan orang lain karena tau bahwa Dydy masih sahabatnya. Muse-nya. Orang paling asik yang selalu bisa memahami bahkan tanpa mengutarakan apa pun.
Tapi, sanggupkah ia memahami yang satu ini?
Daru menatap tajam wajah Dylan. Menjawab, "Orang yang tidak punya orang tua seperti kamu tidak akan pernah bisa paham."
"Hah?" Dylan tersentak mendengar jawaban Daru. Melemahkan pegangannya. Dan Daru pun keluar dari ruangan itu tanpa kata lagi.
Walau kaget Dylan tetap mencoba untuk berkepala dingin.
"Heh, keluarga Nitialam itu ternyata memang diisi oleh para bangsat, ya," ucapnya dengan dua mata terbelalak seperti akan keluar dari rongga, "Kalau tidak ada Daru di antara kalian, Nitialam, sudah aku lumatkan kalian semua sejak dulu kala."
Kembali ia tegakkan punggung. Ia tatap wajah yang terpantul di cermin ruang loker. Berkata, "Tenang saja, bro. Suatu saat nanti aku juga akan melindungimu dari mereka.
"Sama seperti adikku.
"Karena kita sahabat."
Dylan telah bersumpah. Suatu saat nanti ia akan melilitkan sebuah "rantai" tak terlihat yang jauh lebih kuat. Melingkari seluruh tubuh pria itu. Sama seperti Argi.
(Otor note: hiyyaa, ngeri gak punya sahabat bucin kek Dylan? Ngeri apa pengen? Haha. Btw kalau kalian tertarik baca AU dimana tokoh utamanya Dylan dan Daru silahkan intip novel terbaru Noir yah, judulnya 2D, mamaciew)
[TERIMA KASIH BANYAK untuk kalian yang sudah memutuskan untuk mengikutiku, menambah cerita ini ke perpustakaan/daftar bacaan kalian, membaca, berkomentar, atau memberi vote di bab mana saja. Aku sangat menghargai itu dan aku harap kalian terhibur dengan cerita buatanku -.<]
Ikuti terus ceritanya, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pet/Brother
General FictionDON'T COPY MY STORY! DILARANG PLAGIAT! [BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sudah bertahun-tahun lamanya Argi hidup sebagai adik sekaligus "peliharaan" kakak laki-lakinya. Dan semua berjalan "baik-baik" saja. Namun, semua berakhir ketika ia terhubu...