Sebelum membaca yuk jangan jadi silent reader lagi dan tunjukkan dukungan kalian dengan komen dan...
Pukul setengah satu pagi. Daru baru sampai rumah. Sebenarnya makan dengan Dydy alias kakak Argi sudah selesai pukul sepuluh malam kemarin saat mall akan tutup. Tapi, ia melanjutkan perjalanannya ke suatu bar.
"Nongkrong, yuk. Ada tempat bagus. Akan aku kenalkan pada teman-temanku agar lebih bernyawa hidupmu," tawar Daru sebelum mereka berpisah.
"Tidak, terima kasih. Aku harus berangkat pagi besok," tolak Dydy lembut.
"Hmm, okey. Lain kali, ya," ucapnya melambaikan tangan. Dengan wajah ramah bersahabat dan tulus yang tak dimiliki oleh semua orang.
Tertatih-tatih ia langkahkan kaki memasuki bangunan rumah gedong itu. Kamarnya yang terletak di lantai kedua dari paling atas. Membuat ia butuh effort lebih untuk menujunya dalam kondisi setengah teler seperti itu.
Duk. Tanpa sadar ia menabrak pegangan tangga karena gelap. Ia juga nyaris terjatuh di tangga kalau tidak segera berpegangan. "Astaga... padahal tidak niat minum banyak," keluhnya seraya memegang kepala. Ia daratkan pantatnya di pijakan ketiga tangga. Berusaha mengembalikan kesadaran jiwa.
"Aduuh, apa tidur di sini aja, ya," pikirnya seraya membaringkan tubuh di salah satu anak tangga.
Cklek cklek cklek. Chandelier ruang tamu tiba-tiba menyala. Kesadarannya kembali. Melihat sosok wanita bergaun tidur putih perlahan-lahan berjalan mendekat.
"Mama... apa Mbak Kunti, sih?" tanyanya seraya mengucek mata.
Plaak! Wanita itu langsung mendaratkan tamparan di wajah Daru. Menatapnya dengan tatapan tajam ala Leily Sagita.
Ah, sakit. Ini pasti Mama, batin Daru tersenyum kecil.
"Dari mana kamu?!" tanya wanita itu emosi.
"Diskotik," jawabnya malas.
"Habis melakukan apa?" tanya wanita itu lagi.
"Pengajian, Ma," jawab Daru datar. Mendirikan tubuh hendak menaiki tangga.
"Ini orang tua sedang bicara malah pergi seenaknya. Sudah berapa kali Mama bilang kalau mau pergi ke mana pun juga kabari orang rumah? Ini malah seenaknya sendiri keluyuran tanpa pakai supir. Kamu pikir nyawa kamu sudah sembilan apa?" omel wanita itu. Menahan sang putra melangkah lebih jauh.
"Ya ampuuun, Mama sayang. Daru itu sudah lebih sepuluh tahun punya KTP. Masih saja sih diperlakukan seperti saat masih SMA dulu. Ke sini harus lapor. Ke sana harus lapor. Mau party harus lapor. Mau pacaran harus lapor. Berteman dengan siapa harus lapor. Ngegebet cewek harus lapor," balasnya. "Ini penjara apa?" tanyanya.
Wanita bernama Alysa itu menatap putranya tak percaya.
"Ma, Ma, Ma, aku minta maaf kalau ucapanku kasar. Aku sama sekali tidak berniat. Aku hanya benar-benar tidak..."
"Masuk kamar kamu!" perintah wanita berambut pendek itu.
"Oke," sahut Daru tak ingin memperpanjang perdebatan dengan wanita pemilik kaki di mana surganya bertahta.
Ia berjalan menuju lift bersama mamanya. Rasa pusing dan mual karena alkohol yang tadi ia rasakan. Mendadak hilang tertelan perasaan dongkol yang tak bisa dimanifestasikan dalam ucapan. Daru sangat memahami perasaan mamanya. Sampai rela menunggu dirinya pulang hingga selarut itu.
Ia sangat paham perasaan takut kehilangan (lagi) yang wanita itu rasakan.
Tapi, ia juga tidak bisa terus tahan. Dengan bagaimana cara ia diperlakukan. Sepanjang hidupnya dipenuhi oleh aturan yang menjemukkan. Ia sampai sempat iri pada Dydy yang sudah tidak punya orang tua lagi.
TING. Lift berhenti di lantai lima kediaman itu.
"Mama untuk apa turun juga? Kamar Mama kan di lantai atas. Tetap di sini saja agar kembalinya tidak jauh," upaya Daru menahan tubuh Alysa agar tak ikut turun bersamanya.
"Kamu baru saja menekan pelatuk Mama, Daru," balas Alysa seraya melenggang menuju kamar putra tunggalnya.
Dicengkram kepalanya kuat. Berlari menyusul langkah cepat wanita itu.
Sesampai di depan kamar Daru.
"Udah dong, Ma. Mama tidur. Istirahat. Tidak usah menunggu-nunggui Daru seperti tadi lagi. Daru tidak akan hilang, kok," pesan Daru sebelum masuk.
Alysa mengeluarkan sebuah remote dari dalam pakaian tidurnya. Ia tekan dan arahkan ke beberapa sudut kamar pria itu. Klik klik klik.
"Ya ampun, Ma. Untuk apa sih kameranya dinyalakan?" tanya Daru kesal, tapi tetap berusaha menahan diri.
"Tutup pintunya!" perintah Alysa.
"Oke, oke," respon Daru menutup pintu berkunci elektronik itu. Jglek. Yang mana tidak ia miliki kuncinya. "Eh, lho, Ma, kok dikunci?" Cklek cklek cklek. Dorr dorr dorr. "Mama! Mama! Mama! Aku kerja besok bagaimana? Kunci ini kan baru akan terbuka setelah dua puluh empat jam, Ma. Ada rapat penting lho, Ma. Aku juga ada janji dengan teman-temanku besok malam. Ma! Ma! Ma!" teriaknya seraya terus menggedor-gedor pintu. Dorr dorr dorr.
"Besok WFH saja. Kamu tidak perlu pergi ke mana pun. Akan Mama beritahu Papa dan juga Direktur Yanu," jawab Alysa tenang. Intonasi suara yang sangat bersahaja.
Dihela nafasnya dalam-dalam. Dijatuhkan tubuhnya di kasur. Bruugh. Ia pandangi foto seorang anak kecil di atas laci samping ranjang. Tanpa terasa air matanya menetes. Ia peluk lututnya.
Trauma itu akan terus datang jika ia sedang sendirian.
"Maaf... maaf... maaf... maafkan Kakak, Mera. Semua yang menimpa kamu adalah salah Kakak." Ia raih foto itu. Dipeluknya erat-erat. "Kakak rela menukar apa pun dalam hidup ini. Andai kita bisa kembali bertemu...
"Kakak berjanji tidak akan pernah membiarkan kamu pergi lagi."
[TERIMA KASIH BANYAK untuk kalian yang sudah memutuskan untuk mengikutiku, menambah cerita ini ke perpustakaan/daftar bacaan kalian, membaca, berkomentar, atau memberi vote di bab mana saja. Aku sangat menghargai itu dan aku harap kalian terhibur dengan cerita buatanku -.<]
Ikuti terus ceritanya, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pet/Brother
General FictionDON'T COPY MY STORY! DILARANG PLAGIAT! [BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sudah bertahun-tahun lamanya Argi hidup sebagai adik sekaligus "peliharaan" kakak laki-lakinya. Dan semua berjalan "baik-baik" saja. Namun, semua berakhir ketika ia terhubu...