Sebelum mulai baca sudikah kiranya untuk...
Argi jadi tampak tidak enak melihat respon Lastri yang di luar dugaannya. Ia tidak menyanggah. Tapi, tidak membenarkan juga. Argi khawatir ucapannya malah membuat Lastri merasa tidak nyaman. Hanya karena ada nama Wijaya di belakang namanya.
"Kenapa kamu sampai berpikir seperti itu?" tanya Lastri pada akhirnya.
"Ah, tidak apa-apa. Mengingat nama lengkapmu ditambah fakta bahwa..."
"Aku anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Lalu?" tanya Lastri.
"Iya. Itu. Aku jadi berpikir kalau itu ada hubungannya. Maafkan aku. Aku memang benar-benar sembrono," ucap Argi tidak enak.
"Memang apa yang kamu tau soal Rumah Wijaya?" tanya Lastri.
"Aku hanya pernah mendengar desas-desus di lingkaran keluargaku. Katanya Rumah Wijaya adalah suatu panti asuhan elit. Tempat lahirnya sindikat agen spionase muda terlatih. Untuk disalurkan ke perusahaan-perusahaan besar maupun instansi rahasia pemerintahan," jawab Argi.
Lastri langsung tertawa terbahak-bahak. Melupakan tata krama tertawa untuk gadis yang belum dipinang (yang mana harus lirih dan sambil ditutup punggung atau telapak tangan). "A-Ahaha... hahaha... hahaha. Argi ini lucu sekali, sih. Mana ada anak panti asuhan yang kemudian dijadikan hal seperti itu. Ada-ada saja, nih. Ini bukan cerita novel atau film ya, Argi."
"Jadi, kamu membenarkan. Kalau kamu adalah anggota Rumah Wijaya," tanya Argi serius. Ia merasa bahwa informasi mengenai Rumah Wijaya. Akan berguna untuk membantunya lepas dari cengkraman kakaknya.
Lastri melirik wajah Argi. Argi tak bisa menebak ekspresi yang tengah gadis itu gunakan. Tapi, ia tidak merasa semua akan tetap biasa saja setelah ini.
Gadis itu menjawab, "Tidak juga, kok. Aku bukan anggota Rumah Wijaya seperti yang kamu bayangkan."
Argi mendekatkan tubuhnya ke tubuh Lastri. Begitu dekat mengabaikan aturan jarak antara sepasang insan yang tidak mukhrim dalam agama. "Kamu bohong. Lalu, dari mana kamu tau soal Rumah Wijaya?" tanyanya.
"Aku pernah ditawari untuk jadi anggota Rumah Wijaya. Sekitar saat berusia delapan tahun," jawab Lastri enteng. Seolah yang ia ucapkan bukanlah suatu rahasia.
"Apa jawabanmu?" tanya Argi.
"Asal kamu tau, Argi. Saat berusia segitu aku sudah bukan lagi anak kecil," jawab Lastri tenang.
"..."
"Bahkan setelah kecelakaan yang membuat kemampuan otak dan fisikku berkurang 50% itu..." geram Lastri emosi.
"E-E-Ehh!"
"Haaahh!"
"Waaaaaaakhh!!!"
Byuurrr.
Ξ Ξ Ξ
Sebelumnya.
"Sini, ke arah sini, Arta!" teriak Argi pada sobatnya satu itu dari kejauhan.
Arta langsung melangkah cepat menghampiri Argi. Dengan tatapan penuh nafsu. Seperti tengah melihat pemandangan tujuh bidadari mandi di air terjun.
"Hati-hati, bro. Jalannya licin," peringat Argi.
Gdubrak. Terlambat.
"Watta-tta-tta-tta-tta-tta," rintih Arta kesakitan. Pakaiannya jadi belepotan lumut dan tanah.
Argi menghampiri Arta. "Masih bisa jalan?" tanyanya.
"Aduuh. Memangnya kenapa kalau aku tidak bisa jalan? Mau gendong?"tanya Arta kesal.
"Ya nggak, lah. Paling aku suruh kamu ngesot balik ke penginapan. Lagian bernafsu sekali sih ingin melihat sungai," jawab Argi geli.
Mendengar kata sungai membuat Arta melupakan rasa sakitnya. Ia langsung berdiri dengan semangat. Menghampiri sungai yang alirannya sudah Argi perhatikan akan mengalir ke sana dari kejauhan.
"Waaahh..." tatapnya nanar.
Argi tersenyum puas melihat Arta. Siswa golongan pertama satu itu memang memiliki fetish pada dua macam hal: sungai dan jembatan. Tentu bukan sungai-sungai kotor dengan air berwarna cokelat yang biasa ada di perkotaan. Melainkan sungai-sungai daerah pinggiran yang warna airnya lebih sedap untuk dipandang. Menyejukkan hati seperti iklan Adem Sari.
"Tidak kamu foto? Bawa kamera kan untuk dokumentasi acara di atas?" tanya Argi.
"Bawa, sih. Tapi, esensi dari suatu obsesi. Jadi tidak ada artinya kalau tidak dirasakan secara langsung. Kalau sampai aku foto pemandangan ini paling hanya memenuhi memori saja. Mau dihapus sayang. Mau dipertahankan tidak ada gunanya," jawab Arta.
Argi membatin, anak ini kebanyakan teori.
"Jadi, bagaimana kelanjutan yang tadi?" tanya Arta sembari tetap menikmati pemandangan sungai. Dengan jembatan bambu yang ada di kejauhan.
"Sebenarnya aku tidak diizinkan oleh kakakku pergi ke acara ini," cerita Argi.
"Terus?" tanya Arta.
"Karena dia selalu sibuk dan sangat jarang datang ke rumah. Untuk kali ini aku memang jadi bisa mengakali larangannya. Tapi..."
"Oh, jadi sebenarnya kamu tidak boleh datang, tapi karena Nityasa Boy Senior sangat sibuk kamu jadi bisa curi-curi pergi," simpul Arta sembari memberi waktu Argi memikirkan kelanjutan ceritanya.
"Iya. Aku tidak punya firasat akan terjadi sesuatu, sih. Aku hanya parno karena ini sangat jauh dari sekolah.
"Akan jadi masalah besar. Sampai terjadi sesuatu padaku selama berada di luar pengawasan bodyguard-ku," lanjut Argi.
"Terus kamu mau minta tolong apa?" tanya Arta mengalihkan pandangan ke wajah pemalu Argi.
"Ini hanya untuk jaga-jaga saja. Tolong..."
[Kalau kamu suka cerita ini jangan lupa masukkan dalam daftar favoritmu untuk mengetahui update terbarunya -.<]
Apa yang terjadi pada Argi dan Lastri? Bagaimana Arta akan menyikapinya? Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Ikuti terus ceritanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pet/Brother
General FictionDON'T COPY MY STORY! DILARANG PLAGIAT! [BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sudah bertahun-tahun lamanya Argi hidup sebagai adik sekaligus "peliharaan" kakak laki-lakinya. Dan semua berjalan "baik-baik" saja. Namun, semua berakhir ketika ia terhubu...