Sebelum membaca yuk jangan jadi silent reader lagi dan tunjukkan dukungan kalian dengan komen dan...
Hari Jumat. Argi sudah diizinkan oleh dokter untuk kembali ke sekolah. Usai melewati beberapa proses rehabilitasi yang menyangkut fisik dan psikis.
Ia masih belum bersedia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya dan Lastri. Ia hanya tidak ingin membuat masalah ini "membesar". Ia ingin semua selesai di sini. Agar tak perlu memancing "hal yang tidak diinginkan".
Lastri sendiri sudah sadar, tapi masih lemas dan memerlukan beberapa perawatan. Jadi, mungkin ia baru akan kembali masuk sekolah di hari Senin.
"Argi, bagaimana keadaanmu?" tanya beberapa teman sekelasnya.
"Ah, sudah baik-baik saja, kok," jawab Argi sans.
"Wajahmu masih pucat, ya," komentar seorang siswi sambil menyibak poni Argi.
"Masa, sih? Mungkin aku harus pakai bedak bayi agar pucatnya natural," respon Argi.
"Ahahahaha!"
"Ahahahaha!"
"Ahahahaha!"
Anak-anak yang mendengarnya merespon dengan tawa. Entah karena ucapannya memang lucu. Atau mereka hanya ingin memperbaiki suasana hatinya saja. Mereka teman-teman yang baik. Tapi, sama sekali tidak memenuhi posisi apa pun dalam piramida kebutuhan hidupnya.
Ia tetap merasa sendiri.
Argi melirik ke pojokan di mana Arta sedang sibuk numpang membaca buku di kelasnya. Tiba-tiba ia turut menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu seolah ditautkan oleh takdir semesta. Andai saja Arta itu perempuan. Barang tentu ia menjadi karakter female lead dalam cerita hidupnya.
Ia merasa sangat berdosa karena sudah menjerumuskan Lastri dalam semua ini. Semua bencana bermula dari tudingannya pada Lastri perihal Rumah Wijaya. Padahal semua itu juga belum tentu. Lastri yang sudah bersikap begitu baik dan tidak "palsu" padanya. Malah ia sangkakan yang aneh-aneh.
Ia tak akan menolak jika setelah masuk Lastri jadi membenci dirinya. Semua memang salahnya. Semua salahnya. Kebodohannya. Kecerobohannya. Keangkuhannya.
Ξ Ξ Ξ
Kemarin saat baru kembali dari rumah sakit di luar kota. Hanya ada Iwan di rumah. Entah bagaimana caranya ia mengatur agar Bagas bisa tetap berada di kediaman utama keluarga Nityasa. Yang jelas Argi sangat berhutang budi pada Iwan.
"Tuan Muda Argi!" sambut Iwan saat Argi tiba di depan rumah diantar dengan ambulance.
"Sudah, sudah. Bicaranya di dalam saja," respon Argi malas. Tertatih-tatih memasuki rumah.
Di dalam rumah. Argi langsung mengintrogasi Iwan tentang tindakan apa saja yang ia lakukan untuk mengelabui kakaknya, "Bagaimana?"
"Saya tidak mengarang cerita yang berlebihan. Saya hanya bilang Anda bersekolah seperti biasa. Saya sendirian di rumah Tuan Muda. Karena Bagas harus mengerjakan beberapa tugas request pekerja rumah utama," jawab Iwan.
"Bagaimana dengan videonya?" tanya Argi.
Video yang ia maksud sendiri adalah: video berisi Argi yang sedang tidur (dan terikat seperti biasa) yang wajib Iwan dan Bagas setorkan pada kakaknya setiap malam. Sebagai bukti bahwa hari itu pun keadaan Argi safe and sound as always.
Suatu video obsesi.
"Saya menggunakan video-video lama yang diedit sedemikian rupa agar tidak ketahuan oleh Tuan Besar. Saya sangat waspada pada ketajaman matanya," jawab Iwan.
Argi mendangakkan kepala di senderan sofa ruang tamu. "Haahh, senang akhirnya punya orang yang bisa diandalkan."
"Tuan Muda Argi..." panggil Iwan.
"Apa?" jawab Argi.
"Saat saya mengetahui apa yang sudah terjadi pada Anda. Karena saya tidak mematuhi perintah Tuan Besar. Saya benar-benar merasakan rasa penyesalan yang dalam," jawab Iwan.
Argi reflek menegakkan kembali tubuh. "Hah? Apa maksudmu?" tanyanya.
"Saya mempertanyakan lagi keputusan saya untuk berdiri di sisi Anda, Tuan Muda. Saat membayangkan semua yang sudah Tuan Besar lakukan untuk menjaga Anda. Selepas kepergian Tuan Ega dan Nyonya Ruth," jawab Iwan.
"Iwan, apa kamu sudah dicuci otak atau bagaimana selama aku pergi? Sikapmu kok berbanding seratus delapan puluh derajat begitu dengan yang waktu itu," tanya Argi bingung.
"Tuan Muda Argi, saya bersedia membantu Anda melawan sikap over protektif Tuan Besar. Karena percaya Anda mampu menjaga diri Anda sendiri.
"Dan kini Anda membuktikan bahwa Anda tidak bisa melakukan hal itu.
"Haruskah saya kencangkan lagi talinya?" tanya Iwan.
"Iwan!" teriak Argi.
[TERIMA KASIH BANYAK untuk kalian yang sudah memutuskan untuk mengikutiku, menambah cerita ini ke perpustakaan/daftar bacaan kalian, membaca, berkomentar, atau memberi vote di bab mana saja. Aku sangat menghargai itu dan aku harap kalian terhibur dengan cerita buatanku -.<]
Obsesi lebih seperti diskriminasi yang tidak menemukan solusi pasti. Ada apa dengan Argi?
Ikuti terus ceritanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pet/Brother
General FictionDON'T COPY MY STORY! DILARANG PLAGIAT! [BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sudah bertahun-tahun lamanya Argi hidup sebagai adik sekaligus "peliharaan" kakak laki-lakinya. Dan semua berjalan "baik-baik" saja. Namun, semua berakhir ketika ia terhubu...