JANGAN LUPA VOTE HEHEHE
"Udah nangisnya? " tanya Gibran, kepada Mawar yang tampak sudah tidak mengeluarkan air mata.
Dibelakang sekolah, tempat Gibran dan Mawar sekarang berada. Sedari tadi Mawar menangis sesegukan. Sedangakan Gibran hanya diam, tidak bisa menenangkan Mawar. Disisi lain Gibran harus menjaga jarak, karena tidak enak terhadap Kenzi.
Padangan Mawar lurus kedepan, ia kini sudah terlihat lebih tenang. Gadis itu menoleh kepada Gibran yang ada disampingnya, lalu ia mengangguk.
Gibran meneguk ludahnya, melihat air mata yang membasahi wajah Mawar. Tangan Gibran mengepal, merasa jadi banci karena tidak berani berbuat banyak untuk menenangkan gadis itu. "Ma-war, gue boleh ngehapus air mata lo? " tanya Gibran hati-hati.
Mawar mendengus, dengan cepat ia menghapus air matanya. Mawar memaksakan senyumannya. "Nggak perlu, Bran. "
Gibran membalas dengan anggukan. "Mau tetap disini atau pulang? "
"Lo duluan aja, gue mau tetap disini, " jawab Mawar masih menghapus sisa-sisa air mata yang ada dipipinya.
Gibran membasahi bibirnya. Gibran itu kaku, dirinya merasa sulit untuk berkomunikasi dengan cewek. "Trus lo pulangnya sama siapa? " Gibran berdehem, agar terlihat lebih santai. "Ngapain lama-lama disini? Lo juga belum makan 'kan?"
Mawar tertegun begitu saja, dirinya menoleh ke Gibran, membuat Gibran langsung membuang muka.
Gibran mencoba untuk menutupi kegugupannya. "Eung. ..kita pulang sama mobil Mama gue aja. Nggak usah pake angkot. "
"Bertiga? "
Gibran menggeleng. "Berdua. Mama gue bisa nebeng sama temen gurunya."
Mawar mendesah pelan. "Tapi gue nggak enak. "
"Nggak apa-apa. Ayo." Gibran bangkit dari duduknya dan mulai melangkah, diikuti oleh Mawar dibelakang.
Gibran yang bertungkai panjang, membuat langkah kakinya lebar. Berbeda dengan Mawar yang tingginya hanya sebatas dada Gibran. Langkah kakinya kecil, membuatnya tertinggal jauh dari Gibran.
Gibran membuka ponselnya. Memilih menyuruh sang Mama untuk keluar dari ruangan guru. Gibran begitu malas untuk masuk kedalam ruangan guru untuk bertemu sang Mama, yang ada para guru yang mengajar dikelasnya malah mengabsen keburukannya.
Gibran menoleh kebelakang, ketika dirinya mendengar decakan yang keras.
"Malu lo jalan sama gue? "
Bersamaan dengan ucapan Mawar, tampaklah seorang guru yang masih terlihat muda. Gibran dan Mawar langsung menoleh ke guru itu, lebih tepatnya Mama Gibran.
"Ma." Gibran tampak bingung bagaimana cara mengatakannya. "O...Gibran...make mobil, ya? Mama pulang sama Buk Ida aja, " ujar Gibran, menyebutkan nama seorang guru yang rumahnya searah dengannya.
Sang Mama menyerngit. "Kenapa nggak sama Mama aja? "
Gibran menggigit bibirnya sebentar, sebelum berkata, "Gibran sama Mawar, Ma. "
Mawar meneguk ludah, merasa takut begitu saja. Gadis itu tersenyum gugup, ketika guru kimia itu melihatnya.
"Oh yaudah." Mama Gibran merogoh saku bajunya, lalu memberikan kunci mobil Kepada Gibran. "Hati-hati, " ujarnya, lalu langsung membalikkan badan.
Mawar menghela nafas lega, sambil memegangi dadanya. "Sumpah gue takut banget dimarahin sama Buk Rose, " ujar Mawar was-was masih memegangi dadanya, menyebutkan nama Mama Jeffry.
Alis Gibran terangkat. "Kenapa takut? Mama gue nggak galak kok. "
"Ya mana gue tau, dia 'kan nggak ngajar dikelas kita." Mawar mulai melangkahkan kakinya, mengikuti Gibran dari belakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
KENZI (END)
Teen FictionCover by: grapicvii "Tapi gue sukanya sama Melati, bukan sama lo, Mawar." -- Kisah cinta remaja itu rumit, tidak tertebak, namun begitu indah. Saking indahnya, perjalanan dari kisah cinta itu tidak segan-segan mengukir luka pada hati kita. Terkadang...