(18)Makan malam

256 21 2
                                        

Maaf banget kalau jelek.

"Kita kerumah gue dulu, ya? " tanya Gibran, melihat Mawar sekilas lalu kembali fokus ke jalanan didepan.

Mawar menyerngit, lalu menggeleng cepat. "Langsung kerumah gue aja."

Gibran menghela nafas berat. "Rumah lo masih jauh, sedangkan baju lo basah banget, lo nggak kedinginan? Gue juga nggak bawa jaket. "

Mawar melebarkan matanya, tertegun begitu saja dengan ucapan Gibran. Tapi perlahan ia melongos, melemahkan bahunya. "Tapi gue takut sama Mama lo, kalau dimarahin gimana? Ntar ditanya lagi kenapa basah-basah," ujar Mawar mengingat Mama Gibran adalah guru disekolahnya, walau ia tidak mengajar dikelas ipa satu.

"Ntar dia bilang gini, makanya kalau pulang sekolah itu pulang, nggak keluyuran, " lanjut Mawar, jadi berkacak pinggang sambil menirukam gaya bicara Mama Gibran.

Gibran tertawa kecil. "Dosa lo, ngeledek guru sendiri."

Mawar menekuk dagunya kedalam, atas tuduhan dari Gibran. "Gue nggak ngeledek, gue cuman nyontohin. "

"Iya-iya, terserah deh, " ujar Gibran mengalah. "Jadi, kerumah gue dulu ya. Buat ganti baju, pake aja baju kakak gue. "

Mawar menciutkan bibir, masih sedikit ragu. "Gue takut sama Papa lo."

"Papa gue galak sih. " Gibran tertawa kecil, usai mengatai sang Papa. "Tapi kalau teman gue kerumah dia nggak pernah marah,  Otak aja sering diteriak-teriak dirumah gue dia nggak marah. "

"Lagian nggak mungkin juga kali Papa gue marahin lo," lanjut Gibran melihat Mawar sekilas.

"Gue juga nggak enak sama Mama lo." jika Mama Gibran bukan guru disekolah Mawar, mungkin Mawar mau saja.

"Nggak apa-apa kali, fiks kerumah gue ya." Gibran berbelok ke kanan, lebih tepatnya kearah rumahnya.

**

"PAPA! GIBRAN BAWA CEWEKNYA KERUMAH! " Teriak seorang gadis berambut sebahu dan berkaki jenjang.

Gibran berdecih. "Apasih lo, " ujar Gibran kesal kepada kakak perempuannya.

Mawar meneguk ludah, ketika seorang pria berperawakan tegas tampak menuruni anak tangga. Mawar sedikit mendekat ke Gibran, seakan meminta perlindungan.

"Apasih kak, teriak-teriak, " ujar Papa Gibran.

Kakak Gibran atau yang lebih tepatnya Raini, mengarahkan dagunya keseorang gadis yang berada disamping Gibran.

Papa Gibran hendak membuka mulut, tapi terdahului oleh suara Mama Gibran. "Mawar, kamu kenapa basah-basah gini? "

"Habis main hujan tuh, Ma. Bareng pacarnya, " ujar Raini mengompori. "Marahin Gibran tuh, Pa. Dia 'kan udah janji sama Papa nggak bakal pacaran. "

Gibran berdecih keras, Kakaknya itu selalu saja begini, seakan bahagia ia dimarahi. "Apasih, orang ini cuman teman sekelas. Iya, 'kan Ma? "

Mama Gibran mengangguk pelan. "Iya, tapi Mawar kenapa basah-basah gini? " tanya Mama Gibran khawatir. Guru mana yang tidak khawatir melihat murid kesayangan sekolah basah kuyub seperti ini.

Gibran menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Hmm...Mawar tadi kehujanan. Iya 'kan, Mawar? " Mawar mengangguk, lalu tersenyum gugup.

"Pinjemin baju lo sama Mawar. Yang baru jangan yang udah lo pake," ujar Gibran, membuat sang Kakak mencibir, lalu menarik lembut tangan Mawar. Tidak lupa Mawar tersenyum sopan kepada Papa Gibran, dan Papa Gibran tidak lupa pula membalas dengan senyuman hangat.

"Gibran, jangan lupa mandi air hangat, ntar kamu sakit," ujar sang Papa melihat Gibran hendak beranjak.

"Iya, Pa."

KENZI (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang