Jangan lupa vote, ya...
Seorang guru paruh baya tampak memasuki kelas sebelas ipa satu, membuat kelas yang tadinya ribut tergantikan dengan keheninangan, bahkan suara lalat yang terbang dapat didengar.
Ketua kelas yang izin, membuat sang wakil bergerak cepat. Wakil ketua kelas melihat kiri kanan, lalu ia menipiskan bibir sebelum menginstruksi teman-temannya.
Wakil ketua kelas menarik nafas dalam-dalam, lalu dengan gagahnya ia membuka mulut. "Ditempat duduk-- " seharusnya wakil ketua kelas itu melanjutkan intruksinya, entah kenapa ia berhenti ditengah-tengah instruksinya, membuat para murid melirik bingung kearah wakil ketua kelas itu.
Beberapa detik kemudian ketua kelas itu tertawa jahil, menunjuk teman-temannya yang tengah kebingungan. "Nungguin, ya..." ujarnya melihat satu persatu teman-temannya dengan wajah jahil khasnya.
Seisi kelas mendesah, bahkan ada pula yang menepuk meja karena kesal dengan ulah sang wakil ketua kelas. Wakil ketua kelas itu memang tengil, selalu becanda dalam menjalankan tugas.
"Yah...ngelawak ternyata. " ujar Kenzi yang kebetulan sebangku dengan wakil ketua kelas itu. "Lo pikir lucu, " gemes Kenzi, menjitak kepala wakil ketua kelas itu.
"Bagus, Ken, " sahut Doni, sembari mengangangkat jempolnya.
"Otak...jangan main-main lah..." Riska sang bendahara kelas terlihat kecewa dengan wakil ketua yang bernama Ferdiodak itu. Otak hanya membalas dengan cikikikan.
"Jelas banget caper, nya, " sahut Rio sembari menyandarkan badannya ke dinding.
Mereka semua mengomeli Otak. Bahkan ada pula yang berjalan ke bangku Otak dan menjitak kepala Otak. Tanpa menyadari seorang guru yang berada didepan. Telinga guru itu terasa panas, mendengar kebisingan ini. Tanduk iblis seakan sudah keluar dari kepalanya. Ia seakan tengah mengumpulkan kekuatan untuk menghardik para murid. Hanya Mawar yang menyadari itu, setengah mati Mawar berusaha untuk membuat teman-temannya tenang.
"Denis!" Mawar menempelkan telunjuknya ke mulut, menyuruh pria itu tidak mencilotehi Otak lagi.
Denis langsung menghadap kedepan, dengan tangan ia lipat di meja, begitu pun dengan yang lainnya. Mereka semua menunduk, seakan bersiap menerima marahan dari guru didepan.
"Rio! Perbaiki posisi duduk kamu. " titah guru itu, melihat Rio dengan tajam.
Rio yang tadinya bersandar, langsung memperbaiki posisi duduknya. "Lo sih, Bran, " ucap Rio lambat, malah menyalahkan Gibran yang berada disampingnya.
Gibran mendelik. "Ngapain gue? "
Guru yang bernama Buk Syawal itu menghela nafas panjang. Lalu ia mengambil buku absen dari lacinya. Setelah itu ia memanggil satu persatu nama murid. Sampai ia bertemu dengan nama Mawar Cassandra Marva, buk Syawal mendongak, melihat Mawar yang duduk dibarisan depan.
"Mawar, kenapa kamu ngundurin diri buat ikut olimpiade fisika? " tanya Buk Syawal, memandangi Mawar yang tampak gugup.
Mawar menipiskan bibirnya, sebelum berkata. "Hmm...saya rencana mau ikut olimpiade kimia aja, Buk.
Buk Syawal menekuk dagunya kedalam, seakan terkejut mendengar jawaban dari Mawar. "Kenapa? Bukan'kah kamu lebih menguasai fisika, Mawar?"
Mawar meringis, sedikit kesulitan menjawab. "Hmm...saya pengen--"
"Mawar..." potong Buk Syawal. "Kamu ada masalah? Dua hari belakangan ini, banyak guru yang bicarain kamu dikantor. Katanya kamu lebih sering ngelamun. "
Mawar ingin menjawab, tapi terurungkan ketika mendengar celetukan dari belakang. "Iya, lo kenapa sih? Seharusnya tadi lo dateng pagi, karena osis membahas rancangan baru. Tapi lo malah dateng kesiangan. " ujar Edgar, mempertanyaan keadaan sang wakil ketua osis.
"Gue bukannya gimana, ya. " Rini yang duduk dibangku belakang juga ikut menyahut, gadis itu menggaruk-garuk tekuknya seakan tidak enak untuk berkata. "Lo akhir-akhir ini emang sering ngelamum, lebih banyek diem dari biasanya. Pas pelajaran matematika biasanya lo paling gercap maju, tapi senin kemarin lo diem aja, kayak ada sesuatu yang lo pikirin. " sahut Ayu, karena dirinya juga menyadari perubahan pada Mawar.
Buk Syawal mengangguk, melihat Mawar penuh dengan kasihan. "Kalau nggak mau cerita sama teman-teman kamu, kamu bisa cerita sama Ibuk, atau sama guru Bk. " Mawar memaksakan senyumnnya, lalu ia mengangguk pelan.
Otak menyenggol siku Kenzi, membuat Kenzi sedikit terkejut dan menoleh dengan kening mengkerut. "Mawar kayak gitu gara-gara lo, kadal," bisik Otak, tapi Kenzi terlihat acuh saja dan tidak ada niat untuk membalas.
Mata Kenzi kini tertuju pada punggung Mawar, entah apa yang ia pikirkan. Yang jelas wajah pria itu tampak datar dan tidak peduli.
Lonceng istirahat mengeluarkan suara, membuat Buk Syawal bangkit dari duduknya. "Kalian boleh istirahat," ujarnya sebelum beranjak pergi.
Otak yang berdiri langsung melakukan peregangan dengan menarik tangannya ke atas sembari mendesah pelan. "Eh, Mawar lo jadi' kan traktir gue? " tanya Otak, melihat Mawar yang hendak berdiri.
"Eh, Otak juga ditraktir? Gue pikir gue doang." celetuk Rio, seakan tidak terima Otak mendapat traktiran dari Mawar.
Mawar mengangguk. "Iya. Gibran mana? " tanya Mawar, tidak melihat sosok Gibran didalam kelas.
Mawar mentraktir mereka bertiga adalah bentuk dari terima kasih Mawar untuk mereka. Karena mereka telah menolong Mawar kemarin, coba aja mereka nggak ada.
"Cery masih diluar kota, Mawar?" tanya Edgar, dibalas anggukan oleh Mawar.
"Gila, lama bener si buah Cery liburan," gumam Otak.
Rio berdecak keras." Yaudah ayuk ah, ke kantin. Udah laper nih, " ujar pria itu sembari menepuk-nepuk perutnya.
"Eh Mawar, yang ini nggak ditraktir? " tanya Otak dengan tawaan jahilnya, menepuk-nepuk bahu Kenzi. Sedangakan Kenzi terlihat merunduk, memainkan ponsel.
Mawar menipiskan bibirnya, mencoba untuk tidak tegang. "Hmm...yaudah ayo, Ken. Gue traktir," ujar Mawar, mencoba untuk sebiasa mungkin.
Kenzi bangkit dari duduknya, lalu ia menyimpan ponsel kedalam saku celana abu-abu yang ia kenakan. "Nggak usah aja. Melati bawaiin gue bekal soalnya. "
Singkat, padat, dan berhasil menggores hati Mawar.
MAKASI UDAH BACA SAMPAI AKHIR.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENZI (END)
Teen FictionCover by: grapicvii "Tapi gue sukanya sama Melati, bukan sama lo, Mawar." -- Kisah cinta remaja itu rumit, tidak tertebak, namun begitu indah. Saking indahnya, perjalanan dari kisah cinta itu tidak segan-segan mengukir luka pada hati kita. Terkadang...