XLIII. Miss Fortune (M)

12.7K 1.6K 191
                                    

Seks mungkin hanya sekedar seks bagi Cara, mereka bergerak bagaikan dua insan yang saling berbagi kasih, tetapi Cara paling tahu apa yang mereka cari, sebuah pelepasan dan kepuasan untuk diri masing-masing. Tidak lebih, tidak kurang. Ah, atau mungkin Ferro berharap lebih daripada itu? Dia tidak tahu dan sesungguhnya tidak ingin peduli.

Cara perlahan mematikan perasaannya, mengabaikan apa yang salah dan apa yang benar, memusatkan seluruh perhatiannya untuk mencari sebuah pelepasan. Tubuh Ferro bergerak di bawahnya, menjamah sisi tubuhnya yang tidak pernah ia sentuh sebelumnya. Tangan pria itu bergerak, melepaskan atasan yang ia kenakan, gerakan tangan Cara sama cepatnya, melepaskan pakaian pria itu, menyentuh kulit Ferro yang terasa hangat di telapak tangannya.

Mungkin mereka tengah mabuk saat ini hingga mengabaikan cahaya matahari yang masih bersinar terang di luar sana, mungkin juga mereka tengah terpedaya saat ini, dipenuhi oleh nafsu dan gairah hingga melupakan bila mereka berada di dalam ruang kerja Ferro tak terkunci, siapa saja bisa masuk saat ini dan mendapati apa yang mereka lakukan. Ferro yang berada di bawah dan Cara yang berada di atasnya. Hanya perlu mengumpulan dua fakta itu untuk mengetahui apa yang saja yang mereka lakukan di tempat ini.

Ferro terkekeh, Cara mengernyitkan keningnya. "Dante akan mengomentari tempat ini bila dia masih ada." Pria itu mengangkat jemarinya, mengelus kerutan di kening Cara.

"Apa kau sedih?" Cara bertanya, mata cokelatnya bertatapan langsung dengan mata biru gelap Ferro dan menyadari mata pria itu tidak segelap yang ia bayangkan. Ada secercek titik hitam yang menghiasi netranya, membuatnya terlihat lebih gelap di dalam ruangan, sementara lingkaran birunya terlihat lebih cerah bila berada di bawah cahaya matahari langsung.

Ferro menarik tangan Cara yang berada di bahunya lalu mengecupnya, organ tubuh mereka yang masih berada di bawah sana masih menyatu sempurna, ia tak tahu kenapa mereka membicarakan orang yang sudah mati di saat yang seperti ini. "Apa kita perlu membicarakannya sekarang?"

"Kau tidak mau?" Cara bergerak, Ferro mengerang. 

Pria itu memberikan seringai lebar menyadari wanita yang berada di atasnya saat ini tengah mempermainkannya. "Kau ingin membicarakan pria lain saat berada di atasku?"

"Kita membicarakan Dante." Cara mengedikkan bahunya, tubuh bagian atasnya telanjang, hanya tersisa sebuah rok yang terkumpul di perutnya. Ferro menatap payudaranya terang-terangan, lalu tak lama kemudian menangkup dan memberikan jejak-jejak ciuman di dadanya. "Ah." Cara mendesah, Ferro menyeringai. "Apa kau sedih?" Cara bertanya kembali.

"Apa yang kau harapkan?" Ferro mengangkat wajahnya dari payudara Cara, ia menatap wanita itu. "Aku sedih atau senang?"

"Apa itu penting?" Cara mengerutkan keningnya dalam, tidak mengerti kenapa pria itu malah balik bertanya kepadanya. "Dia temanmu, bukan?"

Kali ini ganti Ferro yang mengerutkan keningnya, pria itu tersenyum mencemooh lalu mengembuskan napas panjang. "Apa dia bisa dikatakan sebagai kawan atau lawan?"

"Hm?"

"Posisi sebagai consigliere selalu ambigu, terkadang dia bisa menjadi lawan, kadang juga bisa menjadi kawan." Ferro bergerak kembali. "Bila dia masuk ke dalam ruangan ini dia akan berkomentar panjang lebar sembari meminta seseorang membawa air suci untuk membersihkan tempat ini."

"Kukira dia tidak percaya Tuhan?"

Ferro tertawa. "Dia hanya percaya air suci hanya layak digunakan untuk membersihkan ini." Ferro menunjuk anggota tubuh mereka yang bersatu. Cara mengalihkan pandangan matanya, pipinya memerah.

"Kau punya tato baru." Wanita itu berkomentar ketika melihat tato asing yang tidak pernah ia temukan sebelumnya, atau mungkin tidak pernah ia perhatikan karena dia tidak peduli.

Vendetta | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang