XXI. Don

20.5K 2.4K 124
                                        

Suara desingan peluru, sirene polisi, teriakan orang-orang, dan umpatan terdengar dari berbagai arah. Ferro tersenyum di hadapannya dengan tangan yang memar seusai memukuli salah satu anggota Bratva, sementara Cara berdiri mematung di tengah-tengah ruangan, di antara meja poker dan kasino. Ia seperti mangsa empuk yang siap disantap.

"Brengsek." Ferro mengumpat ketika menembakkan pistolnya ke arah ruang VVIP yang berada di lantai dua, tempat ia melakukan bisnisnya tadi. "Cara."

Cara mengejapkan matanya berkali-kali ketika melihat Ferro berjalan ke arahnya, ia nyaris tidak bisa percaya kepada dirinya sendiri yang berdiri gemetaran di tengah hujanan peluru dan orang-orang yang mengabaikannya demi membalas tembakan-tembakan dari kubu lawan.

"Ferro!" Cara menarik pengaman pistol Ferro lalu menembak seorang pria yang hendak menembak Ferro dari belakang. "Tuhan." Cara menurunkan tangannya ketika melihat ia berhasil menembak pundak pria itu.

Ferro berbalik melihat pria yang nyaris menembaknya lalu tersenyum lebar. "That's my girl."

Ferro tersenyum lebar seperti maniak karena Cara menembak seseorang untuk menyelamatkannya, sementara pria itu meringis kesakitan di antara kubangan darahnya sendiri.

Ferro berjalan ke arah pria itu lalu menendang pistolnya, "Well." Ferro mengangkat pistolnya sendiri hendak menembak kepala pria itu ketika Cara berteriak.

"Jangan bunuh dia!" Tangan Cara gemetar hebat, ia nyaris tidak bisa menahan dirinya sendiri untuk memuntahkan isi perutnya.

"Jangan?" Ferro berbalik ke arahnya sembari mengangkat alisnya, terlihat bimbang juga sedikit kesal, tetapi di saat yang bersamaan masih mau mendengarkan penjelasan Cara.

"Jangan bunuh dia." Cara melihat ke seluruh penjuru arah Lady Luck yang berantakan. Suara tembakan sudah terhenti dan ia hanya bisa mengembuskan napas lega perlahan.

"Kenapa aku harus mendengarkanmu, Cara?" Ferro bertanya lagi, matanya menajam melihat Cara yang terlihat pucat dengan tangan yang masih gemetaran.

"Lady Luck adalah asetmu, seharusnya tidak mudah bagi Bratva untuk masuk ke dalamnya." Cara menjelaskan ragu, ia menelan ludahnya susah payah kemudian melanjutkan. "Kau bisa menginterogasinya nanti."

Ferro menurunkan pistolnya lalu tersenyum singkat kepada pria itu. "Kau benar. God, that's why you're my girl." Ferro berdecak kepada pria itu. "Kau beruntung karena gadisku masih ingin menyelamatkanmu hari ini."

Cara tak suka ketika Ferro memanggilnya sebagai gadisnya. Dia bukan gadis pria itu. Dia bukan kekasih pria itu. Melihat ke segala penjuru Lady Luck yang berantakan, Cara tidak ingin hal semacam ini normal di hidupnya. Dia tidak ingin menjadi pembunuh berdarah dingin seperti Ferro. Dia tidak ingin terbiasa dengan kehidupan seperti ini.

***

Sirene polisi yang memekakkan telinga membuat kepalanya pening. Ferro berdiri di sisinya, tangan kanan pria itu mencengkeram pinggangnya seolah memperingatinya sementara jas milik Ferro tersampir di bahunya.

Polisi-polisi berkerumun di Lady Luck, menandai tempat-tempat itu termasuk satu jenasah yang Cara kenali sebagai anggota Bratva, sosok yang dibunuh oleh Ferro.

"Terima kasih untuk keterangan Anda, Tuan Valenquez." Rocco, sepupu Ferro, mengangguk sekilas saat polisi selesai meminta keterangannya. 

"Tuan Belucci .... " Polisi itu berhenti di depan Ferro, matanya melirik sekilas ke arah Cara yang berada di sisi Ferro. "Apa aku bisa meminta keterangan teman wanitamu?" Matanya melirik ke arah tangan Cara yang gemetaran. Polisi itu menimbang-nimbang di dalam hati, apa ia perlu meminta bantuan dari kepolisian di Chicago? Ferro Belucci sudah lama berada di dalam daftar hitam kepolisian, hanya saja pria itu terlalu licin hingga mereka nyaris tidak pernah menemukan celah untuk menangkapnya.

Vendetta | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang