VIII. Gun and Bullet

27.4K 3.4K 71
                                    

Cara menarik napas gusar lalu membongkar kembali barang-barang yang berada di dalam lemarinya juga di atas meja cerminnya. Pria itu gila, benar-benar gila. Tidak, pria itu juga psycho. Apa yang ada di otak pria itu ketika memainkannya seperti ini?

Matanya menatap nanar ketika melihat barang-barang yang jatuh berserakan di atas lantai. Ferro berhasil menemukan pisau kecil yang ia sembunyikan di bawah bantalnya, tidak menutup kemungkinan pria itu juga mengawasi setiap hal yang ia lakukan di kamar ini, di rumahnya ini.

Suara ketukan pintu membuat Cara waspada, tetapi beberapa saat kemudian ia berusaha menenangkan kembali degup jantungnya. Ferro tidak mungkin mengetuk pintunya terlebih dahulu. Pria itu akan merangsek masuk sebagaimana cara pria itu memaksa masuk ke dalam hidupnya.

Luca masuk membawa sebuah nampan berisi makanan. Mata pria itu menyipit curiga ketika melihat kamar yang hancur berantakan. "Apa yang terjadi?" Luca meletakkan nampan berisi makanan di atas kasur, satu-satunya tempat yang terlihat paling jauh dari kehancuran lalu berjalan dengan hati-hati di antara pecahan kaca dan mendekati jendela, tempat Cara berada.

"Ini." Cara meletakkan kamera-kamera kecil yang berhasil ia temukan ke tangan Luca. Pantas saja pria itu tahu apa yang ia lakukan, pria itu memasang delapan kamera di kamar dan kamar mandinya.

"Ini kamera." Luca mengernyitkan dahinya.

"Ferro yang melakukannya." ucap Cara dengan nada getir.

Luca mengangguk sekilas. "Kau bisa makan di luar, aku akan memanggil seseorang membersihkan kekacauan ini."

"Tidak. Aku akan menunggu di sini." Cara menggelengkan kepalanya.

"Baiklah." ucap Luca dengan nada mengalah. "Aku akan pergi membawa ini dan kembali lagi nanti." Luca mengumpulkan kamera-kamera yang berada di tangannya lalu beranjak pergi, meninggalkan Cara seorang diri yang menatap kosong ke arah pohon-pohon dan dedaunan yang berada di luar kamarnya.

Seorang wanita paruh baya masuk dengan seperangkat alat-alat kebersihan dan mulai membersihkan kamar Cara tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Apa kau tinggal di sini?" Cara membuka pertanyaan, membuat wanita paruh baya itu terlonjak kaget.

"Err ... tidak." Wanita itu menggelengkan kepalanya sembari membersihkan kekacauan yang Cara perbuat. Wanita itu mengernyitkan dahinya sesaat lalu melanjutkan. "Aku dan pelayan lainnya tinggal di rumah yang lain. Hanya ada Ferro dan penjaganya di rumah inti ... dan sekarang ada kau juga." 

Cara bangkit dari duduknya lalu berusaha membantu wanita itu membersihkan kamarnya. "Maaf .... "

Wanita itu menepis tangan Cara yang hendak membantu wanita itu melepas seprai dan menggantinya dengan yang baru. "Tidak perlu."

"Tidak perlu?" Cara berdiri canggung di tengah ruangan. "Siapa namamu?"

"Kau bisa memanggilku Nana, nak. Aku pernah jadi pengurus Ferro saat ia kecil dulu." Wanita itu tersenyum kecil ketika menyadari kerutan dalam di dahi Cara.

Ia tidak pernah membayangkan Ferro sebagai anak-anak. Pria itu selalu sama di bayangannya. Sosok yang berulangkali Ferro tekankan sebagai mimpi buruknya dan perlahan-lahan benar-benar terpatri di benaknya. Sosok yang menembak lengan Christopher dan membuat sahabatnya itu nyaris mati karena kehabisan darah. Sosok yang datang berulang kali tidak hanya di kehidupan nyatanya, tetapi juga di alam mimpinya. Sosok yang membuatnya menyadari hal-hal yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.

***

Ferro memainkan pistol yang berada di tangannya. Ukurannya jauh lebih kecil daripada pistol yang biasa ia gunakan dan sejauh yang ia tahu, hanya ada satu peluru yang pernah ada di dalam pistol itu. Selongsong pelurunya itu bahkan masih tersimpan di dalam laci meja Ferro, di antara dokumen-dokumen dan benda-benda tak penting lainnya.

Vendetta | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang