BAGIAN LIMA (LANGSUNG GOL?)

1K 130 26
                                    

Yang nunggu mana suaranya?

Heheh, yuk jangan lupa kasih komentar dong hihi.

Terimakasih

Happy reading, guys.

Aku langsung menoleh ke arah tanganku yang kini telah digenggam oleh suamiku. Ya, setidaknya itulah yang tertera pada sepasang buku terbitan Kementerian Agama yang kemarin aku tandatangani setelah laki - laki di sampingku ini berhasil mengucapkan ijab kabul.

Aku menatapnya penuh tanda tanya. Walaupun, jauh dalam hati ku pun berbunga - bunga. Ada sesuatu yang meletup dalam dada, tetapi sulit terdefinisikan dengan kata - kata. Tanganku terasa hangat dan nyaman dalam genggaman seseorang yang memang sudah seharusnya. Namun sebisa mungkin aku menutupinya. Aku tak ingin Bimo berpikir yang bukan - bukan lagi terhadapku.

"Nggak usah geer, El!" Tak jauh dari perkiraanku. Ada alasan dibalik genggaman yang terasa kian menguat hingga membuatku sedikit meringis kesakitan. "Gue nggak sudi gandeng tangan lo kayak gini."

"Nggak sudi tetap digandeng juga 'kan?" Seperti biasa. Membalas setiap ucapan pedas Bimo dengan godaan telah menjadi hobiku. Walaupun tak dapat aku pungkiri jika rasa sakit itu tetap ada, tapi aku berusaha menutupinya dengan segala macam cara. Salah satunya adalah tetap tersenyum dan menatapnya dengan pandangan jahil yang jarang aku tunjukkan kepada orang lain.

Bimo berdecak pelan. Tampaknya Bimo memang sedang ingin membuat gara - gara dengan diriku. Debaran di dadaku karena genggaman tangannya saja belum mereda, kini kakak si kembar Nola dan Nala itu kembali detak jantungku kembali menggila karena mendekatkan bibirnya di dekat telingaku.

"Kalau bukan karena ada orangtua gue di depan sana, gue nggak akan mau gandeng tangan cewek murahan kayak lo. Makanya jangan berharap lebih cuma karena ini. Pernikahan ini cuma kamuflase buat gue biar orangtua gue seneng dan nggak merasa rugi karena udah nyuntikin dana yang cukup gede ke perusahaan bokap lo," bisik Bimo lengkap dengan senyum sinis yang terlihat dari ujung mataku. "Lo itu nggak lebih dari sekedar barang yang bokap lo jual ke bokap gue. Jadi ya, wajar 'kan ya kalau gue anggap lo barang yang suatu saat nanti bisa gue jual lagi?"

"Mau gimana pun awalnya, kenyataannya kita tetap jadi suami istri sekarang 'kan, Bim? Dan lo nggak bisa menampik itu," balasku dengan senyum ponggah. Setidaknya aku tidak akan merasa kalah jika bisa terus membalas semua ucapan pedas Bimo dengan kata - kata yang aku yakin tetap akan mengusiknya. Ya, walaupun memang hanya sedikit. "Jadi mulai sekarang terima aja, Bim. Belajar menerima kenyataan bahwa yang jadi istri lo itu gue, bukan Shani. Gue rasa itu akan menjadi lebih baik."

Aku bisa melihat wajah Bimo berubah tegang. Genggamannya di tanganku bahkan telah berubah menjadi sebuah cengkeraman yang jelas menyakitiku. Namun tak bertahan lama, senyum ponggah khas miliknya itu kembali.

"Berubung lo bahas Shani, gue jadi inget tujuan gue menikahi lo itu nggak lebih dari niat gue buat balas semua perlakuan lo ke Shani dulu." Bimo tertawa miring. "Selamat datang di rumah tangga neraka kita, Sayang,"

Aku tak akan kalah. Bimo dapat menabuh genderang perang dengan melemparkan ancaman yang dia pikir mampu mengintimidasiku. Sementara aku, memiliki satu langkah lebih maju untuk mengalahkanmu dengan aksiku.

"I love you too, Suamiku Sayang!" balasku setelah memberikan hadiah berubah sebuah kecupan singkat di bibirnya. Setelahnya, aku pun pergi meninggalkannya dan berjalan menuju kedua mertuaku yang juga sedang berjalan mendekati kami. Sementara Bimo masih mematung di tempatnya semula dengan wajah shock dan juga matanya yang membulat sempurna. Ya, dapatkah aku katakan bahwa kali ini aku memenangkan pertandingan?

KAMUFLASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang