BAGIAN SEPULUH (TAK BERHARGA)

770 105 26
                                    

Rasanya, aku nyaris gila. Bibirku berulang kali mengukir tawa, tapi air mata yang mengalir dari mataku pun tak kalah deras. Sejak subuh tadi, aku masih saja memandangi wajahku yang sungguh memprihatinkan ini dari cermin. Dan ya? Aku sungguh - sungguh kacau.

Kembali mataku mengitari seisi kamarku yang masih berantakan. Membuat aku dapat mengingat kembali kejadian demi kejadian yang aku alami semalam terus berputar di kepala. Membuatku semakin yakin bahwa, aku memang ditakdirkan sebagai orang yang tak berharga.

Aku mengangkat tanganku lalu meletakkannya di atas permukaan cermin yang menampilkan wajahku. Masih sambil tertawa, aku mengusap wajah yang masih terlihat sama kacaunya seperti wajahku semalam. Setelah kejadian menyakitkan itu terjadi.

"Buka, El...." Aku langsung memejamkan mataku. Suara itu kembali terdengar. Rasanya aku ingin kembali menangis kala mendengar suaranya setelah kejadian malam tadi.

"Jangan bikin masalah dengan mati di sini! Makan lo buruan! " Aku langsung membuka mataku. Tawa kecilku kembali menguar, merasa miris dengan nasib hidupku yang begitu payah. "Gue nggak mau di bawa - bawa ke kantor polisi, kalau sampai lo mati di tempat yang sama kayak gue ya. Apalagi kalau alasannya karena lo mati karena kelaparan!"

"Keluar lo, atau gue--" Tanpa menunggu kelanjutan kalimat itu, aku bergegas bangkit dari kursi yang telah setia menemaniku sejak mataku terjaga menuju pintu kamar dan membukanya.

"Nggak perlu lo dobrak, Bim. Gue bisa buka pintu sendiri. " Ya, masih dengan lelaki yang sama. Lelaki yang belum genap satu mknggu menjadikanku istrinya. Lelaki yang diam - diam aku kagumi. Laki - laki ini pula yang berhasil merebut seluruh atensi dan cintaku dari Nando. Dan dia adalah Syahdan Bimo Rizaky, suamiku.

Aku bisa melihat Bimo tersenyum tipis. Jenis senyuman mengejek khas miliknya, yang entah mengapa sering kali membuatku terpukau. Ah, tapi tidak untuk hari ini. Melihat wajahnya, mengingatkan aku lagi pada kejadian yang membuatku semakin tak berharga. Terlebih di depan Bimo yang notabene adalah suamiku.

"Makan!" Gila! Aku jelas ingin memaki di dalam hati. Bimo ngajakin istrinya makan dengan muka galak gitu?

"Gue nggak mau, ada berita soal kematian seorang istri saat honeymoon karena kekurangan nutrisi atau kelaparan."  Bimo lantas memutar tubuhnya dan membelakangi tubuhku. Belum sempat berjalan, Bimo berhasil membuat kejutan dengan perkataannya.

"Maaf...."

Aku menajamkan pendengaranku. Memastikan bahwa apa yang aku dengar tidak lah salah.

"Maaf karena udah bertindak kurang ajar sama lo, semalam." Jangan tanyakan bagaimana kinerja jantungku yang terasa tak beraturan. Terlebih saat aku mengingat kejadian semalam.

"Gue...." Ayo Bim! Lanjutkan apa yang seharusnya kamu bicarakan. Jangan membuatku mati penasaran karena kamu yang terlalu lama menjeda perkataanmu.

"Gue nggak bermaksud melakukan hal itu ke lo." Lagi - lagi Bimo diam. Aku dapat merasakan getaran pada suaranya. "Gue pastikan, kejadian tadi malam nggak akan pernah terulang lagi."

Dan setelahnya, Bimo kembali berjalan. Meninggalkan aku yang masih terpaku di tempatku. Tubuhku terasa semakin kaku. Ya, Tuhan. Apa aku benar - benar tidak berharga di mata suamiku?

***

Menu sarapan yang tersaji di hadapanku ini, nyatanya benar - benar tak membuatku berselera. Bukan karena makanannya, melainkan seseorang yang sedang duduk tepat di seberangku sembari menikmati makanannya. Ya, walaupun aku tak benar - benar yakin bahwa dirinya menikmatinya.

Jangan tanyakan seberapa pedih hatiku saat ini. Bimo memang tak mengatakannya secara gamblang, tapi aku tahu bahwa terdapat makna dari perkatannya. Sekali lagi, aku yakin dia ingin menunjukkan se-tidak berharganya diriku ini di depannya atau bahkan di depan lelaki lain. Ya, setidaknya itu yang dapat diriku tangkap.

KAMUFLASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang