BAGIAN DUA PULUH

956 149 113
                                    

Masih mau lanjut?

Nggak flashback dulu ya, jadi masih cerita masa kini dulu hueheheheh

Selamat membaca

Dan jangan lupa vote & komennya yaaa

***
"Awww!" Bimo berteriak kesakitan. "Niat ngobatin apa nggak sih lo, El?"

"Kalau nggak niat, ngapain gue di sini sih, Mas Suami?" Elsa membalas Bimo sambil tertawa. Fokusnya kemudian kembali pada kaki Bimo yang terluka karena pecahan kaca dari figura foto yang terjatuh tadi terinjak.

"Aww, pelan - pelan bisa nggak sih?"

Elsa menghela napas panjang. "Ini udah paling pelan Mas Suamiku sayang. Mau pelan kayak apa lagi sih?" Atensinya kembali berganti ke arah Bimo.

"Pelan gimana?" balas Bimo sengit. "Rasanya makin sakit tahu nggak? Lo bisa nggak sih becus ngerjain sesuatu?"

"Oh, gue nggak becus?" Elsa mengangguk. Sebuah ide untuk kembali mengerjai Bimo kembali melintas di kepalanya. Senyum jail tercipta di sudut bibirnya, "Oke, gini nih ya. Biar cepat sembuh."

"Aaaawww, Mami!" Bimo berteriak kencang kala Elsa sengaja menekan lukanya cukup keras. Sang istri memang sengaja melakukan itu untuk mengerjai Bimo.

"Rasain!" Elsa mengejek Bimo. Jelas di dalam hati.

"Eh, eh Mas Suami kenapa? Kok teriak gitu?" Demi Tuhan, tawa Elsa ingin pecah rasanya. Bagaimana tidak? Bimo yang biasa memiliki aura dingin dan cenderung menakutkan untuknya, hari ini terlihat meneteskan air mata. Belum lagi saat Bimo memanggil nama sang Mami.

Satu hal yang memang Elsa tahu sejak mereka dijodohkan dulu, Bimo mencintai keluarganya begitu besar. Rasa cinta itu pula yang akhirnya membuat pria berusia dua puluh sembilan itu menyetujui perjodohannya dengan Elsa. Selain itu, Bimo juga cenderung memiliki sikap manja kepada kedua orangtuanya. Jadi, wajar saja jika saat ini suami dari Elsara Nasafika itu terlihat menangis sembari memanggil sang mami.

"Sengaja lo 'kan, El?" Jelas Bimo marah. Sejujurnya, Bimo bukan seseorang yang tempramen. Tapi semua itu berubah setiap kali berada di dekat Elsa. Bimo menjadi seseorang yang sangat mudah terpantik emosinya hanya dengan hal - hal kecil yang dilakukan oleh sang istri.

"Mana ada sengaja," bantah Elsa sambil terus menahan tawa di sudut bibirnya. "Tadi 'kan lo sendiri yang bilang gue nggak becus ngobatin luka di kaki lo. Ya gue mencoba cara lain, yang siapa tahu lo suka," tambahnya sembari mengurai tawa.

"Ngapain lo ketawa?"

Elsa menggeleng. "Lo lucu banget," jawab Elsa jujur. "Kebiasan garang, eh ternyata bisa nangis juga cuma gara - gara luka. Mana manggil - manggil Mami segala."

"Sialan!" Ah, Elsa sudah kebal mendengar setiap kata umpatan yang keluar dari bibir Bimo yang pastinya untuk dirinya. Memangnya ada orang lain yang bisa dijadiin objek Bimo mengumpat lebih baik dari dirinya? Tidak 'kan?

"Lo emang nggak bisa becus ngapa - ngapain ya, El!" Bimo merebut kapas dan cairan antiseptik di tangan Elsa untuk mengobati lukanya sendiri. "Mimpi apa gue dapet istri kayak lo! Ya Tuhan, Mami dan Papi tuh ngelihat apa sih dari lo?"

Berusaha meredam rasa sakit yang menyelimuti hatinya, Elsa berusaha untuk selalu tersenyum. Elsa selalu berasa menekan rasa sakit itu mati - matian, agar rasa cintanya pada Bimo yang kian tumbuh subur tak pernah mati hanya karena sikap kasar Bimo kepadanya.

"Lo sendiri, lihat apa dari gue?" sahut Elsa santai. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan kesedihan. Justru senyum kecil yang selalu wanita itu tunjukkan kepada sang suami.

KAMUFLASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang