BAGIAN TIGA PULUH LIMA

949 150 89
                                    

Yaelah, si dipta nelpon Vira

Wkwkwk

Bakal terjadi apa setelah ini?

Kaya Gani dulu? Ahhhh basi!

Tapi mari kita lihat yaaa....

***

Pagi itu, Bimo terbangun dari tidur dengan rasa pening yang luar biasa menyerang kepalanya. Sembari memijat kepalanya dengan jari - jarinya, perlahan Bimo membuka matanya. Sinar matahari yang menerobos ke dalam ruangan, membuat Bimo kembali merapatkan matanya. Butuh beberapa saat untuk menyesuaikan matanya dengan silaunya sinar matahari yang masuk.

"Engg...." Mata Bimo telah terbuka sempurna. Namun sakit di kepalanya, membuat Bimo masih enggan untuk bergerak. Tangannya masih memijat keningnya. Alkohol nyatanya bereaksi sangat buruk bagi tubuhnya, tak sesuai dengan yang diucapkan oleh Dipta. "Dasar, Dipta bangsat."

Bimo berniat kembali memejamkan mata. Berharap, rasa pening di kepalanya akan reda jika dirinya kembali tertidur. Namun suatu hal akhirnya menyandera matanya untuk tetap terbuka. Bimo baru saja sadar, jika ruangan itu bukanlah kamarnya.

"Gue dimana?" Jantungnya berdegup kencang. Terlebih saat Bimo menyadari bahwa ada sebuah tangan yang melingkar di perutnya yang polos. Satu hal lagi yang baru dirinya sadari, bahwa tak ada kain yang menutup tubuh bagian atasnya. "Ada siapa di belakang gue?" Bimo meneguk ludahnya kasar. "Kenapa peluk - peluk gue?" Perlahan Bimo mencoba membuka sedikit selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Bimo dapat sedikit bernapas lega saat celana kerjanya masih melekat dengan sangat baik menutup bagian bawah tubuhnya. Setidaknya, Bimo yakin bahwa dirinya tak melakukan apapun saat dirinya tak sadar tadi malam. "Ya Allah, gue nggak ngapa - ngapain 'kan pas nggak sadar," Bimo mulai menyugar rambutnya. Ingin rasanya membalikkan tubuh untuk memastikan siapa pemilik tangan yang sedang membelit tubuhnya itu. Namun rasa was - was menyerangnya. Bimo tak yakin akan tetap hidup jika mengetahui siapa pemilik tangan yang sedang memeluknya dengan erat itu.

Napas hangat yang menerpa punggungnya membuat tubuh Bimo menegang. Rasanya tak asing. Sebelum Elsa pergi meninggalkan rumah orangtuanya, hampir setiap hari Bimo terbangun karena Elsa yang tiba - tiba memeluk tubuhnya dari belakang.

Bimo menggeleng. "Otak lo mulai nggak waras, Bim. Elsa udah pergi. Dan nggak akan kembali," Bimo memukul - mukul kepalanya. "Ngaco aja pikiran lo!"

Bimo mengatur napasnya terlebih dulu. Berusaha membuat dirinya lebih tenang untuk menerima kenyataan tentang perempuan yang berada di belakangnya.

"Bismillah...." Pertama, Bimo memulai aksinya dengan memegang pergelangan tangan yang sepintas tampak tak asing di tangannya. Sambil memejamkan mata, Bimo akhirnya membalikan tubuhnya dengan cepat. Degup jantungnya terdengar semakin kencang kala Bimo telah berhasil membalikkan tubuh dan berhadapan dengan perempuan yang tampak lelap dalam tidurnya. Rasa takut di dalam dirinya sedang bertempur dengan rasa penasaran yang juga menyerangnya, membuat Bimo masih belum juga membuka mata. Namun pada akhirnya, rasa penasaran itu memenangkan perseteruan. Perlahan, Bimo membuka matanya. Dan benar, sebuah kejutan diterima Bimo pagi ini.

"E-Elsa?" Bimo mengedipkan matanya beberapa kali. Tangannya bahkan sempat mengucek matanya untuk memastikan penglihatannya. Nyata kah? Atau hanya sekedar ilusi. "Elsa?" Setelah yakin bahwa yang dilihatnya adalah sesuatu yang nyata, Bimo bergegas bangkit dan duduk di samping seseorang yang sama sekali tidak terganggu karena gerakan tubuhnya.

"El, El...." Bimo mencoba memanggil. "Ini beneran lo, 'kan?" Bimo memberanikan diri mengulurkan tangannya untuk mengguncang tubuh Elsa. "El, El bangun!" Bimo dapat merasakan hawa panas pada tubuh sang istri. Buru - buru Bimo menyingkirkan helaian rambut yang menutupi sebagain wajah Elsa. Betapa terkejutnya Bimo, saat melihat darah mengalir dari lubang hidung istrinya. "El, bangun. Lo kenapa, El? Kenapa?"

KAMUFLASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang