BAGIAN LIMA PULUH SEMBILAN

893 130 60
                                    

Mari kita lanjutkan perjalanan kisah mereka wkwkwkwk

Yok suaranya yook, mana yookkkkk

Jangan lupa vote sama komen yang banyak ya....

200 komen bisa?

***

"Kak! Jangan gini, please...." ucap Frean frustasi. Air mata masih saja menetes di pipinya. "Lo pikir, lo sayang sama anak lo, kalau lo kayak gini, Kak?" Kepala Frean menggeleng. "Ini bukan sayang, Kak. Kalau lo kayak gitu, namanya lo egois."

"Fre, kamu nggak tahu perasaan kakak. Kakak...ingin ketemu Papi, Fre. Kakak mau kasih tau Papi, kalau sebentar lagi...beliau akan punya cucu."

"Gue tahu, Kak," Frean menganggukan kepalanya beberapa kali, lalu mengusap air mata di wajah saudara perempuannya itu. "Tapi...coba lo pikir deh, Kak...apa mungkin Om Diga akan senang kalau lo membahayakan diri lo dan cucunya?"

Elsa terdiam, berusaha mencerna ucapan sang adik yang memang benar adanya. Kedua tangannya yang semula meracau untuk melepaskan infus, mulai lemas. Masih dengan air mata yang mengalir deras, pada akhirnya Elsa pun menuruti ucapan Frean.

"Kak..." panggil Frean saat tak Elsa belum jua memberi respon. "Ada yang sakit?" tanya Frean panik saat menyadari sang kakak terlihat lemas. "Gue panggilin--"

"Kakak akan disini, Fre," kata Elsa memotong ucapan sang adik. "Kamu benar, Kakak nggak bisa egois." Elsa mengusap air mata di wajahnya. "Ada sosok lain, yang saat ini harus Kakak pikirin. Dan kamu benar, Papi Diga nggak akan kecewa kalau hal yang buruk terjadi sama calon cucunya 'kan?" Kepala Elsa menunduk, sementara tangannya mengusap perutnya yang kembali terasa nyeri.

Akhirnya, Frean dapat sedikit bernapas dengan lega. Sambil tersenyum tipis, Frean mengusap kepala sang kakak penuh kelembutan.

"Tapi...." Elsa menjeda kalimatnya, lalu mengangkat kepalanya kembali. "Kakak boleh minta sesuatu sama kamu?"

Walaupun sempat diliputi keraguan, pada akhirnya Frean pun menganggukan kepala. "Kenapa, Kak? Lo mau minta apa?"

"Kamu tetap datang ya ke rumah Papi. Bantu Bimo dan keluarga yang lain di sana."

"Tapi, 'kan Bimo nyuruh gue buat nemenin lo. Buat jagain lo, Kak."

Kepala Elsa menggeleng. "Saat ini, mereka pasti jauh lebih membutuhkan kamu. Anggap aja, kamu mewakili keluarga kita untuk hadir di sana. Papa nggak akan mungkin datang, 'kan? Jadi, Kakak mohon banget kamu yang datang ya...."

"Tapi, 'kan...."

"Keponakan kamu loh yang minta, Fre...."

Melihat wajah sang Kakak yang penuh harap, membuat Frean tak tega. Pada akhirnya, Frean pun menganggukan kepala sebagai tanda bahwa dirinya menyetujui permintaan Elsa.

"Dengan satu syarat," kata Frean tegas.

"Apa?" sahut Elsa penasaran.

"Lo nggak boleh ngapa - ngapain, nggak boleh kemana - mana dan harus nurut apa kata dokter dan perawat di sini. Lo benar - benar harus istirahat. Gimana, sanggup?"

Bibir Elsa menyunggingkan senyum kecil, disusul dengan anggukan kepala. "Siap, Om," jawab Elsa seolah sang bayi dalam kandungannya lah yang menjawab.

***

"Angkat, El! Angkat!" Bimo mencengkeram kuat ponsel di genggamannya saat panggilannya masih saja diabaikan oleh sang istri. Sudah beberapa kali Bimo berusaha menghubungi Elsa dan Frean sejak panggilan yang sebelumnya terputus. Namun tak ada satu panggilan pun yang dijawab oleh Elsa maupun adiknya itu.

KAMUFLASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang