BAGIAN TUJUH (CINTA SEGIEMPAT)

786 108 15
                                    

"Lo bilang apa, Bim?" Nando terkekeh sinis setelah sempat terdiam. "Gue harus manggil lo apa? Kakak?"

Bimo mengedikkan bahu. Tangannya yang semula bebas langsung bergerak menarik tubuh Elsa, lalu merangkul bahu istrinya.

"Nyatanya emang gitu 'kan?" balas Bimo cuek. "Gue udah nikah sama kakak dari istri lo, kalau lo lupa." Bimo tersenyum pongah, bersamaan dengan tangannya yang mengangkat jemari sang istri dan juga juga jemarinya yang dihiasi cincin pernikahannya dan Elsa. "Mana ucapan selamatnya, Dek Nando? Kamu belum ngucapin 'kan? Eh...atau memang nggak mau ngucapin?"

"Lo--" Nando telah melangkah maju. Tangannya telah terkepal kuat. Laki - laki yang pernah bersahabat dengan Bimo itu bahkan juga mengangkat tangannya yang terkepal untuk memberi sebuah pukulan di wajah Bimo sebagai hadiah pernikahan. Namun, sebuah suara berhasil menghentikannya. Tak hanya itu, fokus Bimo dan Elsa ikut beralih ke arah sumber suara.

"Kak Nando...."

"Inar?" Terkejut. Satu kata yang dapat mengambarkan rupa tampan Nando saat melihat istri sekaligus ibu dari calon anaknya. Dan faktanya, kemunculan Inar bukan hanya mengejutkan sang suami. Namun juga sang kakak - Elsa, sekaligus kakak iparnya - Bimo.

"Kak Elsa?" gumam Inar tertahan saat matanya menangkap keberadaan sang kakak yang berdiri tak jauh dari tempat suaminya berdiri. Bibirnya tersenyum samar.

Tanpa harus perlu berpikir keras, maka Inar telah mampu mencerna situasi apa yang telah terjadi. Sang suami, telah berbohong kepadanya. Tujuan pria itu kembali ke Jakarta dan meninggalkannya di Bali, bukan untuk menghadiri rapat penting seperti yang pria itu katakan. Melainkan untuk bertemu dengan perempuan yang masih menempati takhta tertinggi di dalam hatinya.

Nyatanya, feeling seorang istri terlebih yang sedang mengandung itu begitu kuat. Keputusannya untuk ikut kembali ke Jakarta menggunakan penerbangan setelah penerbangan Nando telah membawanya kembali menyadari bahwa hati sang suami masih milik wanita lain yang sialnya adalah kakaknya sendiri.

Susah payah Inar merancang honeymoon bertepatan dengan tanggal pernikahan sang kakak. Berharap, suaminya tidak akan menemui Elsa dan berbuat nekat hingga dapat menghancurkan acara pernikahan kakaknya itu. Namun apalah daya? Kala sang suami punya seribu satu alasan untuk kembali dan menemui perempuan yang Inar yakini masih memiliki sebagian besar atau bahkan seluruh hati Nando.

Beruntung, Inar berhasil mencegah Nando kembali ke Jakarta tepat di hari pernikahan Elsa dan Bimo dengan alasan kondisi kandungannya yang sempat memburuk sehingga tak ada alasan bagi Nando untuk tetap tinggal. Namun keberhasilannya menahan sang suami tak bertahan lama, karena keesokan harinya. Ketika matahari saja masih enggan menemui umat manusia, Nando telah siap bahkan dengan tiket pesawat untuk kembali bertolak ke Jakarta.

"Nar, ka-kamu--" ucapan Nando terhenti kala wanita yang sedang mengandung anaknya itu melewatinya begitu saja. Inar tampak dengan tenang kala berjalan mendekati Elsa, lantas memeluk kakak perempuannya itu dengan begitu erat.

"Selamat, Kak." Inar menjeda sejenak ucapannya. "Dan terima kasih, tentunya. Terima kasih karena pada akhirnya Kakak menikah juga."

Air mata mulai jatuh membasahi wajah Elsa. Sembari membalas pelukan Inar dengan tak kalah erat, Elsa pun menanggapi ucapan adiknya. "Terima kasih atas ucapannya, Sayang. Tapi tolong, jangan pernah berterima kasih atas pilihan yang kakak pilih untuk menikah dengan Bimo. Karena Kakak memang mencintainya, Kakak menginginkannya."

Inar memejamkan matanya, pelukannya pada tubuh sang kakak menguat. "Inar sayang Kak Elsa. Sayang banget."

"Kakak...jauh lebih sayang sama kamu, Nar. Bahagia ya, karena anak kamu pasti juga akan bahagia." Sama seperti Inar, air mata yang mengalir di wajah Elsa pun semakin deras. "Kakak pernah janji akan membuat kamu bahagia 'kan? Dan kakak akan pastikan, semua itu bukan hanya janji."

KAMUFLASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang