BAGIAN EMPAT PULUH TUJUH

796 170 52
                                    

Ternyata...
Cerita ini akan sangat panjang wkwkkw

Maap yaaaa

***

"Bersahabat?" kata Elsa mengulangi pertanyaan Bimo yang langsung diangguki oleh Bimo.

Tak lama setelahnya, Elsa tertawa miris. Masih dengan air mata yang berderai, Elsa berusaha melegakan sesak di dalam dadanya. Demi Tuhan, Bimo benar - benar membuatnya gila.

Setelah tawanya berhenti, Elsa mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Menghela napas panjang, Elsa lantas mengukir senyum tipis penuh arti.

"Sahabat ya?" Elsa manggut - manggut. "Tapi bukannya sahabat nggak ada yang nidurin sahabatnya sendiri, Bim?" sarkas Elsa yang berhasil menyentak Bimo.

"Sementara lo?" kata Elsa masih dengan senyum mirisnya? "Bahkan kita melakukan hal itu lebih dari satu kali, dalam keadaan sadar." Menarik napas lagi, Elsa pun melanjutkan kalimatnya. "Apa itu bisa dikatakan sebagai persahabatan? Lagi pula, menurut gue nggak ada persahabatan antara cewek dan cowok yang benar - benar murni. Akan ada perasaan lain yang ikut mengambil peran. Dan kita udah membuktikannya, 'kan? Lo dan Shani, begitu pula gue dan Nando. Bukannya hubungan itu udah jadi bukti kalau nggak ada persahabatan antara  cewek dan cowok yang benar - benar pure?"

Bimo merasakan lidahnya kelu. Bibirnya terkatup rapat. Tak mampu menanggapi semua perkataan sang istri yang memang benar adanya. Tangan Bimo turun perlahan. Namun sebelum benar - benar sampai ke tempat semula, Bimo justru dikejutkan oleh tangan Elsa yang kini justru menjabat tangannya.

Elsa kemudian tertawa. "Tapi lo ada benarnya juga ya? Dalam posisi ini, cuma gue yang cinta sama lo. Sementara lo?" Elsa menggeleng, lalu menghela napasnya lagi. "Nggak perlu gue jabarkan perasaan lo ke gue." Elsa menutup kata - katanya dengan senyuman pahit menghiasi bibir.

Bimo masih saja membisu. Namun matanya tak lepas dari tautan tangannya dengan Elsa. Ada sebuah gelenyar aneh yang Bimo rasakan.

"Kalau permintaan lo gue ganti dengan hal yang lebih realistis buat kita, gimana?"

Wajah Bimo kembali terangkat. Tatapannya kini hanya terpatru pada netra yang sering mengalirkan buliran bening untuk dirinya. Lengkungan pada bibir Elsa membuat Bimo mulai merasa was - was hingga akhirnya ikut bersuara.

"Realistis kayak apa yang lo maksud?" Bimo tak munafik, jika ada gemuruh hebat di dalam dadanya. Rasa khawatir akan sesuatu hal yang dirinya tak ketahui penyebabnya menjadi alasannya.

Bibir Elsa benar - benar membuat lengkungan senyum. Kali ini lebih lebar dan terlihat jauh lebih hangat. Walaupun di akhir senyumannya, Elsa menghela napas panjang. Ah, tanda sebuah kepasrahan kah?

"Jangan jadiin gue sahabat lo, Bim." Elsa terkekeh pelan. "Karena sejak awal, hubungan kita memang nggak layak diberikan predikat persahabatan."

Kerutan di kening Bimo semakin banyak. Bimo terlihat bingung. Sungguh, Bimo belum mampu menangkap apa maksud yang sebenarnya dari perkataan Elsa.

"Gue nggak akan minta lo lagi untuk mencintai gue."

Tanpa pernah Bimo duga, hatinya mencelos saat mendengar perkataan Elsa. Namun Bimo masih memiliki keyakinan, bahwa dirinya baik - baik saja. Perkataan Elsa bukan sesuatu hal yang perlu dirinya khawatirkan.

"Gue nggak akan meminta lo lagi untuk membuka hati lo buat gue, Bim. Lo boleh mencintai siapapun yang lo mau. Dan gue nggak akan melarang hal itu." Elsa menjeda sejenak kalimatnya. Masih dipandanginya mata Bimo lamat - lamat. "Tapi...."

"Tapi apa?" tanya Bimo saat Elsa tak kunjung melanjutkan ucapannya.

Elsa tersenyum tipis. "Gue mau minta sesuatu sama lo, Bim."

Meneguk ludah dengan kasar, Bimo akhirnya menganggukan kepala. "Apa yang lo minta?"

Elsa kembali tersenyum. Namun kali ini kepedihan terlihat jelas pada wajahnya yang sendu. "Jadikan pernikahan ini pernikahan yang sesungguhnya ya, Bim." Elsa kembali tercekat. "Nggak perlu pakai perasaan." Senyumnya semakin lebar tersungging. "Bukan cuma lo yang nggak pakai perasaan. Gue juga bakal melakukan yang sama...gue akan berusaha menghilangkan perasaan gue ke lo."

"Kenapa lo minta hal itu ke gue?"

"Gue ingin merasakan indahnya hidup berkeluarga." Elsa menarik napasnya, lalu mengembuskannya. "Sesuatu yang nggak pernah gue dapatkan dari keluarga gue sejak gue kecil." Elsa menunduk sejenak, lalu kepalanya kembali terangkat agar matanya dapat kembali menatap sang suami. "Lo mau bantuin gue 'kan, Bim?"

Bibir Bimo masih terkatup rapat. Sementara netranya masih saja terpaku pada mata sang istri yang sudah basah kembali karena air mata.

"Bim--" Dan nyatanya Elsa tak lagi mampu melanjutkan kalimatnya kala bibir Bimo membungkam bibirnya. Air matanya luruh. Bibirnya sama sekali tak bergerak, hingga akhirnya gigitan kecil dari gigi Bimo membuat bibirnya terbuka. Matanya terkatup saat bibir dan lidahnya mulai ikut serta mengimbangi ciuman Bimo.

Perlahan Bimo mulai menarik diri. Bibirnya mulai terlepas dari bibir Elsa. Giliran kening keduanya yang menempel. Keduanya pun membuka mata di saat yang bersamaan.

"Gue setuju," ujar Bimo pelan, tapi penuh keseriusan. "Dan ciuman tadi, bukti kalau gue resmi jadi suami lo. Suami lo yang sebenarnya. Tanpa...melibatkan perasaan kita."

***
Hujan, dingin...

Dikit dulu yaaa

Wkwkkwkwkw

Selamat hari minggu

Dan jangan lupa diramaikan yaaaa

Hihiiii

KAMUFLASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang