Jangan Tertipu Dengan Amalmu
Begitu banyak amalan telah berlalu, lantas yakinkah Allah Ta’ala menerima amal-amal tersebut?
Hendaknya tanyakan pada hati kecilmu, sudahkah amalan yang dilakukan atas dasar ilmu? Sudahkah amalan yang dilakukan sesuai dengan apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan? Tidaklah akan diterima suatu amalan apabila tidak berdasar pada ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada dasarnya dalam urusan (agama) kami, maka amal itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Hendaknya tanyakan pada hati kecilmu, sudahkah mengikhlaskan amal itu hanya untuk Rabb ‘Azza wa Jalla? Ikhlas itu berat, saudariku. Mengapa sangat yakin amal akan diterima? Teladan kita, para Nabi saja dengan kerendahan hati mereka, masih berdoa mengharap amalnya diterima.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 127).
Tidaklah amalan-amalan yang telah dikerjakan itu merupakan buah dari kehebatan seseorang. Seseorang tidaklah mempunyai jasa atas amalan-amalan yang dikerjakannya. Hanya Allah saja yang mampu menggerakkan seseorang untuk beramal sebab taufik yang diberikan-Nya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata, “Allahlah yang mengilhamkan hamba-Nya untuk bertaubat kepada-Nya, dan Dia sangat bergembira dengan taubat hamba-Nya itu, meskipun taubat hamba itu tidak lepas dari karunia dan kemurahan-Nya. Allahlah yang mengilhamkan ketaatan dalam diri hamba-Nya dan Dia pula yang membantunya melakukannya, lalu membalasnya dengan pahala; dan semua itu tidak lepas dari karunia dan kemurahan-Nya.” (Fawaidul Fawaid [terjemah], hal. 35)
Para salafus shalih yang beramal dalam diam, merasa begitu takut amalnya tidak diterima dan merasa sangat sedikit dalam beramal.
Dari Ibnu Syaudzab diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Tatkala sakaratul maut menjemput Abu Hurairah, beliau menangis. Orang-orang bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Beliau menjawab, ‘Jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan dan banyaknya aral rintangan. Sementara tempat kembali, mungkin ke surga, atau mungkin ke neraka’.” (Meneladani Akhlak Generasi Terbaik, hal 29).
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiqih Islam I
Документальная прозаBegitu banyak pemahaman Islam yang belum kita ketahui bahkan mungkin kita tidak pernah mendengarnya, padahal menjadi sebuah kewajiban bagi seorang Muslim terutama yang sudah Mukallaf untuk memahami Islam dan menerapkannya Buku ini berisi beberapa pe...