Makhruh dan Tidak Saat Shaum (2)

129 6 0
                                    

#Islamic Geographic Institute
All About Islam-Recharge Your Iman
Seri:  _Siyam was Syawal_

*Hal-Hal Yang Dimakhruhkan Dan Tidak Dimakhruhkan Saat Berpuasa (Mazhab Maliki 2/4)*

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وَبَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ

     Pada saat penjelasan ini kami akan uraikan hal-hal yang dimakhruhkan ketika seseorang sedang melakukan ibadah puasa menurut masing-masing mazhabnya.

*2. Menurut Mazhab Maliki :*
Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk mencicipi makanan meskipun dia sendiri yang memasaknya. Apabila seseorang melakukannya, maka dia harus cepat-cepat melepehkannya agar tidak sedikitpun yang masuk kedalam kerongkongannya, karena apabila ada sedikit yang masuk, maka ia harus mengqadha puasa fardhunya jika tidak sengaja.

Sedangkan jika sengaja maka dia tidak hanya diharuskan untuk mengqadhapuasanya saja melainkan juga dikenakan hukuman kafarah.

     Dimakruhkannya juga bagi orang yang berpuasa untuk mengunyah sesuatu, misalnya permen karet atau buah kurma atau semacamnya untuk keperluan sesuatu. Adapun apabila dia melakukannya maka dia harus cepat-cepat melepehkannya, karena jika tidak maka hukumnya sama seperti hukum mencicipi.

     Dimakruhkannya bagi orang yang berpuasa untuk mengobati gigi yang berlubang (atau kerusakan pada akar gigi), kecuali jika dikhawatirkan terjadi sesuatu yang lebih parah apabila pengobatannya ditunda sampai terjadi sesuatu yang lebih parah apabila pengobatannya ditunda sampai malam hari, bahkan dia diwajibkan untuk melakukan hal itu jika dikhawatirkan hal itu akan mengancam keselamatan jiwanya atau sakit parah.

     Dimakruhkan pula bagi orang yang berpuasa untuk membasahi  biji rami (goni) yang ada rasanya didalam mulut, yaitu yang biasa dilakukan oleh kaum wanita saat sedang menenun pakaian (atau bisa juga dikatakan menjilat benang agar lebih mudah memasukkan ke dalam jarum) , selama wanita tersebut tidak harus menenun disiang hari, sedangkan jika dia harus melakukannya maka hal itu tidak dimakruhkan . apabila wanita melakukannya, maka ia diwajibkan untuk cepat-cepat melepehkannya ke air liur yaitu biji rami yang direndam didalam laut, maka tidak dimakruhkan untuk dibasahi di dalam mulut, meskipun tidak terpaksa.

    Dimakruhkan pula bagi orang yang berpuasa untuk memanen (atau membajak sawah) jika tidak terpaksa, agar tidak ada debu yang masuk kedalam mulutnya, hingga puasanya menjadi batal, *namun* _jika dia harus memanen sawahnya maka hal itu tidak dimakruhkan .begitu pula bagi para petani yang memang harus memanen sawahnya saat waktu panen tiba, mereka juga sama sekali tidak dimakruhkan untuk melakukannya._

    Dimakruhkannya juga bagi orang yang berpuasa untuk melakukan hal-hal yang termasuk permulaan dalam hubungan intim (foreplay), seperti mencium, memandang, ataupun berkhayal, jika diyakini tidak akan sampai pada hubungan intim atau ejakulasi atau keluar madzi.

*Namun* apabila diyakini seperti itu atau bahkan diyakini seperti itu, maka hukumnya haram. Selain itu, apabila tidak terjadi ejakulasi dalam melakukan hal tersebut atau tidak keluar madzi, maka puasanya tetap sah, namun jika keluar maka puasanya tidak sah atau harus diqadha, kecuali jika keluarnya hanya dengan memandang saja atau berkhayal saja tanpa bersentuhan  atau lebih dari itu, maka puasanya sah dan tidak harus menqadhanya.

*Namun* jika yang keluar adalah air mani (ejakulasi) maka dia bukan hanya diharuskan mengqadha puasanya saja melainkan juga dikenakan hukuman kafarah, selama permulaan itu diharamkan (yakin pasti akan ejakulasi), namun jika dimakruhkan (yakin tidak akan ejakulasi) maka dia hanya diharuskan mengqadha puasanya saja tanpa dikenakan hukuman kafarah.

Dimakruhkan pula bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak (gosok gigi) dengan kayu yang masih basah (muda/segar) dan ada rasanya, namun jika tidak ada rasanya maka diperbolehkan baginya bersiwak kapanpun dia mau, *bahkan dianjurkan.*

Adapun berkumur bagi orang yang kehausan hukumnya diperbolehkan, selama diyakini airnya tidak masuk ke dalam kerongkongan.

Sedangkan untuk mandi, baik itu *mandi jabanah atupun mandi biasa,* maka melakukannya saat berpuasa berlawanan dari keutamaan, karena yang lebih utama untuk mandi dimalam hari sebelum tiba waktu imsak.

    Dimakruhkan pula bagi orang yang berpuasa untuk melakukan pembekaman atau pembedahan terhadap tubuhnya sendiri selama diyakini hal itu akan membuatnya lemah dan akhirnya membatalkan puasanya, namun jika diyakini sebaliknya, maka keduanya boleh dilakukan.

Adapun hukum ini juga tidak hanya bagi orang yang sakit saja, namun juga bagi mereka yang sehat, selama diyakini tubuhnya tidak akan lemah dan sama sekali tidak akan menyebabkan dia harus membatalkan puasanya.

*Bagaimana, ada yang berbeda dengan pendapat Imam Hanafi yang sudah kita bahas sebelumnya ?*

Pasti ada yang berbeda dan ada yang sama dengan pendapat Mazhab yang sebelumnya kita bahas dan yang akan kita bahas kemudian (besok), karena hal itu adalah masalah furuiyah/cabang/Ijtihadiyah yang diharuskan dalam Islam sesuai dengan dalil :

Dalil yang menceritakan tentang *Muadz bin Jabal Radliyallaahu ‘Anhu* yang diutus Nabi _Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam._ Dalam hadits ini terjadi dialog antara nabi dengan muaz,

Nabi _Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam_ bertanya kepada muadz,

_“bagaimana engkau memutuskan ?”_

Muadz menjawab : _“dengan Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah, kemudian dengan melakukan ijtihad”._

Nabi kemudian membenarkan jawaban Muadz ini dengan mengatakan:

_“segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan nabi Allah dengan apa yang di ridhai Allah dan Nabi-NYA. “_ *(HR. Abu Daud).*

Dari *‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu*  : Bahwasannya Rasulullah _Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam_ bersabda:

_“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”_ *(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 13/268 dan Muslim no. 1716)*

*Tentu tidak semua orang bisa berijtihad,* walau hukumnya fardhu kifayah, hanya orang yang mumpuni saja yang boleh berijtihad karena ijtihad harus dengan dalil, hafidz Quran berikut dengan tafsir, asbabun nuzul, paham dan hafal Hadits minimal 200.000 (pendapan Imam Hambali). Berikut dengan matan, sanad, perawi dan asbabul wurudjnya serta paham kaidah ushul fiqih dan kaidah Ijtihadiyah serta faham ilmu balaghoh.

Jadi, silahkan pakai pendapat para Imam Mazhab mana saja sesuai dengan yang diikuti, karena walau berbeda, kesemuanya benar dan berdasarkan dalil.

Besok kita lanjut ke Mazhab lainnya hingga semua *Arbaatul mazhab* kita bahas, bagi yang ingin artikel secara umum dengan bahasan sama (rangkuman sudah dibahas sebelumnya) , silahkan Japri Admin/Adminah. _Insya Allah_

_Wallahu’alam bish showwab._ []
Assosiasi Assatid Indonesia-Islamic Geographic Indonesia

* Sumber : Al Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah (Fiqih Empat Mazhab), Syaikh Abdurahman Al-Juzairi, Maktabah At-Taufiqiyyah, Kairo*

_*Indahnya Islam jika diterapkan Total*_

Disusun: IGI Team
Semoga Allah Azza Wa Jalla Merahmati Penulisnya.

Hanya Allah yang berhak dipuji…!!!

Fiqih Islam ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang