Di kedai kopi rumah sakit, Cassandra menenangkan diri sembari berpikir. Dia lupa total doa Bahasa Arab yang dulu diajarkan guru agamanya saat meminta keselamatan.
Tuhan, Ya Allah yang Maha Penyayang, aku perempuan berdarah Sunda dan Belanda. Nggak ada setetes pun darah Arab dalam tubuhku. Maka wajar saja kalau aku nggak bisa berdoa pakai bahasa yang negaranya pun belum pernah kudatangi. Tolong jangan marah. Aku akan berdoa menggunakan Bahasa Indonesia. Kumohon selamatkanlah Lithania. Aku percaya Allah Maha Pintar, pasti memahami doaku.
Cassandra mendesah dalam hati. Apakah Allah akan menganggapnya kurang ajar karena berkata seperti itu dalam doa? Dia terlalu kalut memikirkan nasib Lithania. Tapi sudahlah, lagipula Tuhan maha pemurah, maha pengasih, maha pengampun. Tuhan pasti tahu doanya semata demi meminta perlindungan bagi bayinya.
Reffrein Starlight yang super berisik menjeda semua kekusutan otak Cassandra. Rupanya dari Fatma.
[Sandra, kamu di mana?]
“Di rumah sakit, Ma.”
[Siapa yang sakit?]
Cassandra berharap tidak ada yang sakit. Kalau pun hasil pemeriksaan Lithania buruk, dia berharap Tuhan sudi berbaik hati mengubah takdir. “Nggak ada, Ma. Cuma kontrol Lithania saja.”
[Apa Mizan lupa memberi tahumu kalau Mama ke Jakarta? Mizan minta Mama menemanimu selama dia di Uluwatu.]
Cassandra mendengus sebal. Dia hafal tabiat mertuanya yang hobi protes berbagai macam hal. Bukannya meringankan beban pikiran, yang ada justru melipat gandakan masalah. Mutiara yang jauh lebih sabar ketimbang dirinya saja mengeluh sampai Cassandra bosan. Bukan bosan dijadikan tempat curhat sahabatnya, melainkan bosan dengan sikap Fatma yang tak kunjung berubah meski usia bertambah.
“Padahal Mama nggak usah repot-repot. Litha nggak pa-pa kok.”
[Kamu ini nggak bersyukur banget sih, hargai sedikit Mama sudah jauh-jauh terbang dari Pontianak demi kamu lho. Ini Mama bawa oleh-oleh terasi udang khas sini. Ada lempok juga. Mama tunggu lho, Sandra.]
Kalau mengikuti kata hati yang meraung-raung, Cassandra ingin menolak Fatma. Malah kalau bisa segera mengirim mertuanya balik ke Pontianak. Sayangnya ekspedisi yang menerima pengiriman manusia belum buka di Indonesia. Cassandra mengomel dalam hati sembari mengentakkan kaki sebal sepanjang perjalanan dari kedai kopi menuju parkiran. Dia harus menahan diri demi mencegah pecahnya perang dunia ketiga. Ya ampun, di telepon saja nada Fatma sudah semenyebalkan itu. Bagaimana pula kalau mereka bertemu muka?
Fatma tengah berdiri sembari menelepon entah siapa saat Cassandra tiba. Raut wajah mereka berdua sama-sama seram. Fatma tampak siap mencabik siapa saja yang mengganggunya, sementara Cassandra pun tak sudi mengalah kalau ada yang cari keributan dengannya. Kalau dulu Mutiara bisa berpura-pura, tidak dengan Cassandra. Tangannya sudah cukup penuh dengan menggendong Lithania, maka dibiarkan saja Fatma menggeret kopernya sendirian sampai masuk ke bagasi mobil.
“Mama duduk di belakang saja,” pinta Cassandra saat Fatma membuka pintu depan. “Lithania lagi sakit.”
“Lho, katamu di telepon tadi nggak ada yang sakit.”
“Ma, please. Ini sudah siang. Panas. Aku juga belum makan.”
Ketegasan yang terpancar dari mata Cassandra menyurutkan keinginan Fatma untuk membantah. Dia pun duduk di jok tengah tanpa banyak pertanyaan. Dalam mobil, Cassandra menyetel radio dan menghindari bercakap-cakap. Lithania yang terbangun di tengah jalan asyik bermain dengan jarinya, mengemut-ngemut seolah permen terlezat. Cassandra tersenyum geli. Tensinya turun sedikit.
Tiba di rumah, Cassandra langsung membuka pintu. Selama kepergian ke Bali, rumahnya memang belum disapu lagi. Fatma mencolek meja tamu dan mendapati lapisan debu tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEXY MISTRESS
RomanceCassandra van den Heuvel merebut Hamizan Parama dari Mutiara, sahabatnya sendiri. Mereka menikah dan terlihat bahagia dengan kelahiran Lithania sementara Mutiara wafat meninggalkan Widi, suami barunya. Widi yang masih belum bisa melupakan Mutiara me...