BAB 18

1.3K 147 7
                                    

Hello Sexy Readers,

Follow aku yuk, terus klik bintang dulu. Komen yang rame ya. Sayang kalian.

💋💋💋 

Cassandra belum tuli, pendengarannya masih bagus. Fatma menyindirnya, membandingkan dengan sang mantan menantu. Apakah Fatma lupa, karena siapa Mutiara stres jadi istri dari anaknya? Kenapa sekarang ibu mertuanya itu kembali memperlakukannya serupa?

Cassandra masih ingat bagaimana perlakuan Fatma di awal-awal penikahannya dengan Hamizan. Dulu Fatma kegirangan mengetahui Cassandra hamil. Saat dia menerima lamaran Hamizan pun Fatma yang paling mendukung. Hubungan mereka baik-baik saja selama ini. Cassandra sempat kepedean menyangka dia berhasil mengubah sifat mertuanya. Semesta membuktikan bahwa Cassandra salah dan memperlihatkan watak Fatma yang sebenarnya tidak akan pernah hilang.

Terkadang, ada banyak emosi menyertai lelah dan penat manusia, begitu pun dengan Cassandra sekarang. Namun, alih-alih amarah yang terbit, justru air mata menganaksungai di pipinya.

Psychology Today menuliskan, menangis saat marah merupakan formula pahit. Orang yang mengalami tak hanya merasakan kesal atau marah, tetapi juga kesedihan yang mendalam.

Cassandra berusaha menjelaskan apa yang membuatnya tersinggung, tetapi malah air matanya ikut keluar. Ternyata begini rasanya, ketika Cassandra sedang belajar berdamai dengan masa lalu, Fatma justru membuat rasa bersalah menggulungnya tanpa ampun, di otaknya muncuk pikiran gila. Lithania menderita karena dosa yang telah dia lakukan.

Hamizan merengkuh bahu istrinya. Cassandra adalah perempuan kuat yang terlatih menghadapi hujatan netizen maha benar. Namun, dia tahu perbuatan Fatma terlalu menyakitkan, Cassandra sampai tak bisa melakukan apa-apa selain menumpahkan air mata.

"Ham, kamu ingat kan alasannya kenapa aku bersikukuh tetap bekerja?"

Tentu saja, Hamizan belum pikun. Dia masih mengingat alasan di baliknya. Cassandra terbiasa bekerja, dia tak pernah suka ketergantungan kepada orang lain. Apa yang dilakukannya sekarang, akan dia petik hasilnya ketika tua nanti. Cassandra bukan tipe perempuan yang suka menadahkan tangan, sekalipun pada orang terdekatnya.

"Ayo, kuantar kamu ke kamar. Biar nanti aku bicara sama Mama dan minta nggak kasar lagi sama kamu."

Untung saja, Fatma menumpahkan kekesalan langsung di depan Hamizan, setidaknya Cassandra bisa bersyukur tidak menambah nilai merah di mata Fatma karena dianggap pengadu.

Setelah menenangkan Cassandra di kamar, Hamizan kini berada di depan pintu kamar Fatma. Dia mengembuskan napas panjang, sebelum mengetuk.

"Ma, saya mau bicara sebentar." Hamizan membuka pintu, Fatma tengah duduk di ranjang, menonton layar datar 21 inci yang terpasang di tembok. Hamizan menarik kursi, kemudian duduk di sampingnya.

"Mama harusnya jangan sekasar itu lah sama Sandra. Mama kan tahu, anak kami sedang sakit. Sandra bukan mau mendebat atau membangkang. Di mana-mana, suasana hati perempuan akan jauh buruk ketika anaknya sakit. Mama pasti pernah di posisi Sandra."

Fatma diam saja, sebab diam-diam mengakui benar kata Hamizan. Dia pun pernah merasakan suka duka sebagai seorang ibu. Fatma takkan lupa, Hamizan pernah kejang sampai step ketika demam tinggi. Tetapi Fatma selalu ada di rumah untuk merawat Hamizan. Berbeda dengan Cassandra yang tampaknya lebih mementingkan karir dibandingkan keluarganya sendiri. Di bagian itu yang Fatma tidak suka.

"Andai Mutiara masih hidup, dia pasti akan jadi ibu yang baik. Bukan pembangkang seperti istri kamu yang sekarang."

Hamizan menyugar rambut sembari menghela napas. "Mama nggak ingat siapa yang bikin Mutiara stres sampai lari dari rumah?"

Hati Fatma bagai disengat saat mendengar pertanyaan dalam ucapan Hamizan. Putranya mengingatkan kembali kesalahan yang diperbuat pada masa lalu.

"Mama ingin bikin Sandra stres juga?" Hamizan kembali bertanya. Namun sayang, tak ada jawaban yang bisa Fatma lontarkan. Diam-diam dia mengaku salah. "Saya bukan ngusir Mama, tetapi sepertinya kondisi Cassandra sedang tidak baik karena penyakit yang diderita Litha."

Tubuh Fatma menegang seolah diingatkan kembali ketika Hamizan juga memintanya pulang saat sang putra masih berstatus sebagai suami Mutiara.

"Gimana kalau Mama pulang aja dulu. Biar nanti pas Mama ke sini lagi, hati Cassandra semakin membaik."

“Kamu mengusir Mama?”

“Ma, please. Saya mohon jangan buat keadaan saya semakin terjepit. Cassandra butuh waktu untuk menenangkan diri dan merawat Litha. Mama mau cucu Mama sehat, kan?”

Fatma mematung sejenak lalu mengangguk pelan. Hamizan benar, sebaiknya dia pulang saja. Berlama-lama di rumah ini menyulut amarah, mengusik ketenangannya. Fatma bisa ikut stres.

"Oh, iya, Ma. Satu lagi. Sandra sekarang adalah istri saya. Jadi tolong, Mama jangan bandingkan Sandra dengan Mutiara."

"Zan, Mama nggak mau kamu masuk neraka karena gagal mendidik istri. Kamu ingat kan pelajaran agama yang selalu Mama tekankan padamu. Sekarang Mama masih sehat, Zan, jadi bisa memantaumu. Bagaimana kalau kamu nggak punya siapa-siapa, tinggal bertiga sama istri dan anakmu, siapa yang akan mengingatkan mereka kalau bukan kamu? Ingat dosa, Zan."

Hamizan termangu, terombang-ambing menentukan sikap. Fatma benar. Inilah sebabnya dari awal dia ragu menikahi Cassandra. Sudah pasti akan menimbulkan konflik. Kepada Mutiara saja Fatma selalu mengkritik. 

Hamizan menyentuh tangan Fatma, meremas kulitnya yang mulai keriput dimakan usia. Apakah durhaka jika dia ingin memulangkan wanita yang mengandung, melahirkan, serta menyusuinya demi menjaga keutuhan rumah tangga? 

"Saya pesankan tiket buat Mama ya," ucap Hamizan lembut. 

Mata Fatma berkaca-kaca. Anak laki-lakinya telah menetapkan pilihan. Bukankah dulu dia yang meminta Hamizan menikahi Cassandra untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya? Haruskah dia menyesal sekarang? 

"Iya, Zan. Mama akan pulang kalau memang mengganggu kalian di sini. Mama ke sini juga kamu yang minta."

Hamizan membawa tangan ibunya ke kening. "Iya, Ma. Terima kasih."

"Ya sudah, Mama beres-beres dulu. Kamu pesan tiket saja."

Fatma telah kalah. Dia melangkah tanpa semangat ke kamar merenungkan segalanya. Pakaian yang dia keluarkan kemarin, dimasukkan kembali ke koper. Saat itulah tatapannya tertumbuk pada plastik oleh-oleh dari Pontianak yang lupa dia berikan pada Cassandra.

Tidak, Fatma tidak mau Hamizan bercerai dari Cassandra. Menantunya memang pembangkang, tetapi dia ibu dari cucunya. 

Fatma menenteng kantong kresek berisi terasi dan lempok durian ke kamar Cassandra. Menantunya tengah membacakan cerita untuk Lithania. 

"Cassandra, apa Mama mengganggu?" tanya Fatma lunak. 

"Nggak, Ma. Masuk saja," balas Cassandra meski masih dongkol. 

Fatma menaruh kantong kresek itu di meja lantas membelai pipi Lithania. "Cucu Nini, sehat-sehat ya, Nini mau pulang."

"Kapan, Ma?" tanya Cassandra. 

"Belum tahu. Hamizan lagi cari tiket."

Cassandra jadi tidak enak. Dia yang mengusulkan pada Hamizan agar mertuanya dipulangkan, tetapi sekarang malah merasa jahat. 

"Kamu ingat pesan Mama, Sandra. Bukannya Mama mau cerewet, tapi kamu istri Hamizan sekarang. Jaga nama baik suamimu. Patuhlah padanya."

Cassandra menghela napas tidak suka. Kenapa dia harus patuh pada suami, bukankah kedudukan mereka setara dalam pernikahan? Namun dia mengangguk saja biar damai meskipun belum tentu akan dilakukannya. 

***

SEXY MISTRESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang