Bab 11

1.9K 185 7
                                    

Hello Sexy Readers,

Follow aku yuk, terus klik bintang dulu. Komen yang rame ya. Sayang kalian.

💋 💋 💋 

Cassandra kembali ke hotel, mengepak barang-barang Lithania dan barangnya sendiri. Dia berharap Hamizan berlari menyusulnya lalu bersama-sama pergi ke rumah sakit. Percuma. Khayalan siang bolong Cassandra tidak akan terwujud. Bagi Hamizan, The Parama Kitchen setara dengan nyawanya, bahkan lebih penting. Restoran adalah impian dan harapannya sejak muda. Passion yang memerlukan perjuangan berat untuk digapai. Menikahi Cassandra hanya memerlukan maskawin sepuluh gram emas, sementara membangun The Parama Kitchen Uluwatu menguras hampir seluruh tabungannya, ditambah ratusan juta dana investor, ribuan jam kerja memikirkan menu dan konsep. Pendek kata, menikah jauh lebih mudah dan murah ketimbang berbisnis. Kalau Hamizan mengikuti Cassandra ke rumah sakit, sama saja menghancurkan kerja keras dan tak menghargai cucuran keringat.

Kekesalannya Cassandra lampiaskan dengan membanting koper di lantai. Menjejalkan asal semua pakaiannya kemudian menutup ritsleting. Batal sudah semua rencana bulan madu romantis. Hamizan sibuk bekerja dan membiarkan Cassandra berlibur sendirian serta kesepian.

Taksi yang disewa sejak dari rumah sakit, setia menunggu di parkiran. Pengemudinya yang sudah berusia cukup senja dan seharusnya memomong cucu, membantu Cassandra menaikkan koper ke bagasi.

"Kita balik ke rumah sakit, Pak," pinta Cassandra.

"Baik, Bu."

Tuhan memang baik mengirimkan Widi pada saat Cassandra benar-benar membutuhkan kehadiran orang yang dapat membantunya melewati masa sulit. Sungguh malang Mutiara terlambat mengenal laki-laki ini dan malah dinikahi Hamizan. Mereka memang tidak cocok. Cassandra menghela napas. Kalau begini caranya, dia pun tidak cocok bersuamikan Hamizan. 

"Sudah sampai, Bu." Supir taksi mengembalikan pikiran Cassandra ke alam nyata, menginjak bumi. 

"Ini uangnya, Pak."

Supir taksi itu mengucapkan terima kasih lantas membantu Cassandra menurunkan koper. 

Para pasien yang menunggu di ruang tunggu rumah sakit memperhatikan Cassandra. Dengan koper di tangan kanan serta tas perlengkapan bayi di tangan kiri, penampilannya persis menantu yang diusir dari rumah. Namun kekhawatiran pada Lithania mengalahkan rasa malu. Cassandra mengayun kaki menuju ruang ICU, berharap keadaan sudah membaik. Langkahnya dihentikan oleh Muse yang meraung-raung di ponsel. Widi menghubunginya.

"Halo, Wid," sapa Cassandra kering.

[Asalamualaikum Cassandra, kamu di mana?]

"Udah sampai rumah sakit. Maaf lama, tadi aku ke hotel dulu, packing keperluan Litha." Tentu Cassandra tidak mengatakan bahwa dia dipaksa makan steak oleh Hamizan. Mungkin Widi belum makan. "Gimana keadaan anakku, Wid?"

[Dokter mau bicara banyak. Apa kamu bisa secepatnya ke sini menemui Dokter Fura?]

"Aku segera ke sana."

[Oke, aku tunggu. Walaikumusallam.]

"Walaikumusallam."

Cassandra memasukkan ponsel kembali ke tas. Dia benar-benar merasa sendirian menghadapi masalah pelik. Bukankah kata orang suami adalah separuh jiwa? Kenapa separuh jiwanya malah asyik sendiri? Justru Widi yang notabene bukan siapa-siapa lah yang menunjukkan kepedulian. Intuisinya mengundang laki-laki itu ke peresmian restoran baru Hamizan sangat tepat meskipun mereka sempat bersitegang dan berdebat panjang. Widi sangat bisa diandalkan. 

Setelah bertanya pada office boy yang ditemui, sampailah dia di depan sebuah ruangan. Tangan Cassandra terarah ke pintu putih bertuliskan nama I Made Furani. Tampaknya sang dokter putri Bali. Cassandra mengatur napas agar sanggup mendengar kabar terburuk apa pun. Dokter Fura sendiri yang membukakan saat Cassandra mengetuk.

SEXY MISTRESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang