Mina duduk menepi di sofa dekat dinding sembari memeluk diri. Tatapannya terus waspada setiap kali melihat Verner. Cowok itu sudah menyuruhnya untuk masuk ke kamar dan mengunci diri jika takut sembari menunggu informasi tentang Agnia. Namun, Mina menolak dan yang terbaik adalah posisi tak jauh dari pintu dengan pintu yang masih menggantung kunci.
Verner berbaring di sofa seberang dan menarik selimut ke seluruh tubuh selain wajah. Mina berpaling gelisah juga berharap Agnia segera menghubunginya. Setiap sepuluh menit dia menghubungi sahabatnya itu, tetapi tak kunjung ada respons.
Verner menahan diri dari dinginnya suhu ruangan demi kenyamanan Mina. Mengabaikan tubuhnya yang semakin terasa dingin. Verner menaikkan alis setelah membaca pesan dari Devan. Dipandanginya Mina yang terlihat tak nyaman. "Lo yakin mau nunggu sampai Devan bawa Agnia pulang? Mereka lama, loh."
Mina menunduk sedih. "Ya udah, gue tunggu...."
"Lo kebanyakan takut karena kurang bersosialisasi."
"Apa...." Mina memandang Verner heran, kemudian tahu arah pembicaraan itu. "Nggak, kok.... Nggak ada hubungannya kurang bersosialisasi dengan apa yang gue rasain."
Verner menyunggingkan senyum tipis. "Tapi tetep aja, aslinya lo emang kurang bersosialisasi, kan?"
Mina berpaling dan mendengkus. Verner benar dan Mina tak bisa mengelak.
Verner memandang intens. Ada berbagai pemikiran di benaknya termasuk untuk memancing cewek itu bicara lebih banyak. Misal, dengan membuat Mina kesal. Meskipun belum tentu Mina akan bicara banyak dan justru diam dan meminta untuk pulang, paling tidak Verner ingin mencobanya. "Kalau lo lebih mau ngelihat dunia luar lebih jauh, mungkin lo bisa lebih terbuka dengan semua orang. Masih banyak yang nasibnya jauh lebih parah dari lo. Ya, walaupun gue nggak tahu masalah lo apa, tapi pasti masih banyak yang lebih parah dari lo."
"Nggak ada hubungannya, sumpah." Mina tak sadar Verner telah berhasil memancing emosinya. Dia sampai memandang Verner tajam. "Ini bukan masalah siapa yang punya nasib paling parah, tapi mental. Lo nggak akan ngerti...." Mina berusaha kuat untuk tidak menangis karena tiba-tiba saja rasa sesak di dadanya semakin mengimpit.
Mina membuang muka. "Jangan bahas apa pun lagi."
Namun, pergerakan Verner membuat Mina terkejut. Verner bangun dari sofa dan berpindah ke sisi Mina sampai Mina menjaga jarak dan sudah terpojok.
Verner menggeleng takjub dengan respons waspada Mina yang sangat tinggi. "Lo trauma kontak fisik. Masih aja, ya. Sekali dua kali nggak ngaruh. Coba lo pegang tangan gue dan buang rasa takut lo."
Verner mengulurkan tangan, membuat Mina memandang tangan Verner dengan ragu. "Ayo." Verner menunjuk tangannya dengan menggerakkan dagu.
Mina masih memandangnya ragu, lalu berpaling ke tangan Verner. Dia meneguk ludah. Bukankah dia bertekat untuk mencoba berani? Maka Mina menciba menaruh tangannya di atas tangan Verner yang dingin.
Mina hanya menaruh tangannya di atas tangan Verner tanpa melakukan apa pun dan memperhatikan tangannya dan tangan Verner dengan intens. Tangan Verner perlahan membuka, lalu ruas jemari cowok itu membekap punggung tangan Mina dengan lembut.
"Takut?" Verner menaikan alis sambil terus memperhatikan raut wajah cewek itu.
Mina tidak menjawab. Hanya ada degup jantung yang semakin berdegup kencang sampai seluruh tubuhnya terasa lemas, membuatnya bersandar di sofa dengan pelan.
Verner terus memperhatikan Mina yang belum juga menjauhkan tangan mereka. Mina sedang melawan rasa takutnya. Cewek itu mengarahkan pandangan ke sepasang mata Verner yang tak lepas dari wajahnya sejak tadi.
Mina semakin merasa lemas. Dengan degup jantung yang semakin tidak normal. Cewek itu menarik tangannya dengan segera dan berpaling dari Verner untuk menenangkan diri.
"Tangan lo dingin...." Mina pada akhirnya bicara karena merasa canggung dengan suasana yang hening.
"Ya, malam ini agak nggak nyaman." Verner mendekatkan kepalanya, membuat Mina tersentak dan segera menjaga jarak. "Mau pegang? Seberapa hangat?"
Mina memandang wajah polos Verner dengan bingung. "Ha ... ngat? Apa?"
Saat Verner mengarahkan tangan Mina ke dahinya, Mina tidak melawan melainkan memberanikan diri. Suhu dahi Verner membuat Mina membelalak. Verner demam. Mina terkejut dan mengingat kembali Verner rela menjemputnya dalam kondisi seperti sekarang ini.
"Kenapa malah jemput gue dan nggak ngomong lo sakit?" Mina panik dan merasa bersalah sampai raut wajahnya membuat Verner tertawa karena merasa lucu. "Lo nggak ke dokter? Udah minum obat belum? Aduh, gimana...."
"Besok paling juga sembuh." Verner menahan senyum melihat kepanikan cewek itu. Ternyata ada untung di balik dia yang demam. Dia bisa melihat sisi lain dari Mina seperti yang dia lihat sekarang. "Lo bisa bantu gue? Ambilin handuk kecil bersih di kamar mandi dalam kamar dan baskom isi air."
Verner punya cara untuk membuat Mina berada di apartemennya lebih lama. Ide cemerlang itu membuatnya terus tersenyum tanpa disadarinya.
Tanpa protes atau bertanya lagi, Mina langsung memasuki kamar Verner dan mencari yang Verner butuhkan. Verner terus memperhatikan saksama apa yang cewek itu lakukan.
Mina tak peduli akan apa pun lagi termasuk akan ketakutannya selain bagaimana cara membantu Verner yang sedang sakit. Meski bagi Mina, apa yang dia lakukan tidak ada apa-apanya. Mina mengambil semua yang dibutuhkan Verner dan menaruhnya ke atas meja. Dia berlutut di dekat meja, memeras air pada handuk kecil itu, lalu diarahkannya ke dahi Verner. Verner tengah berbaring dan memandang Mina yang cekatan. Tak ada kecanggungan di raut wajah itu selain panik dan kekhawatiran.
"Kan?" gumam Verner sembari memandang Mina lekat, membuat tangan Mina perlahan menjauh dari handuk yang sudah dia taruh di atas dahi Verner.
"Hem?" Mina bergumam bingung.
"Rasa takut itu ada karena terlalu di pikirin. Buktinya rasa takut lo hilang karena teralihkan yang lain."
Mina menghela napas panjang. Dia bingung mengapa Verner sangat ingin membuatnya tidak takut dengan kaum laki-laki. Bisa saja Verner tidak ingin Mina menganggap semua cowok sejahat pikirannya, tetapi Mina tak tahu kenapa Verner sangat keukeuh untuk sesuatu yang lebih baik tak usah dia pedulikan. Padahal cukup dengan tidak perlu mengganggu hidupnya, Mina sudah bisa melupakan kejadian itu.
"Ya, gitulah...." Mina berdiri untuk pergi dari hadapan cowok itu.
"Mina?" Verner menahan pergelangan tangan Mina, membuat Mina berhenti mendadak. Lekat sepasang mata itu terus saja tertuju padanya. Mina hanya memandang Verner tanpa bicara. Bibirnya terkatup rapat memandang mata Verner yang sendu.
"Gue tahu gue sekotor apa. Dan gue pengin jauh dari semua hal kotor itu." Suara Verner parau. "Nggak salah kan kalau gue pengin mengenal lo lebih jauh, Mina?"
[]
Baca duluan di https://karyakarsa.com/kandthinkabout
catatan lagi untuk pembaca lama: cerita ini hanya repost. dan bagi pembaca baru yang ingin baca duluan, silakan ke karyakarsa karena di sana sudah tamat. di wattpad akan terus di update sampai tamat juga, tapi butuh waktu.
Beli lewat webnya aja. Ketik ulang di halaman google -> https://karyakarsa.com/kandthinkabout (atau cek bio profilku, klik tautan di sana)
thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Teen Fiction"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...