Belakangan adalah hari-hari ternyaman Mina tanpa gangguan dari Baron. Meski kehilangan Kakek dan Nenek juga kepergian Mama keluar negeri serta Agnia yang masih tak mau bicara dengannya, tetapi kehadiran Verner membuat luka Mina tertutupi.
Satu hal juga yang jadi terasa berbeda. Kursi yang ada di samping Mina lebih sering kosong. Pemiliknya selalu bolos. Mina tak tahu ke mana Darga. Satu-satunya yang ada di bayangan Mina adalah rooftop. Sudah lama juga Mina tak pernah ke rooftop karena Verner tak mungkin mengisinkannya pergi.
Alhasil, di kelas itu Mina merasa sendirian dan dikucilkan. Hal yang paling Mina hindari adalah tugas kelompok. Darga pelan-pelan menjauh. Mina pikir Darga sengaja karena Verner.
Baru saja memikirkannya, Darga memasuki kelas dan langsung duduk di kursinya. Mina ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan karena Darga sedang memasang earphone.
Mina mengalihkan perhatian kepada seorang siswi yang menghampirinya. "Kak..., Kak Mina, ya? Katanya dipanggil guru di lab Kimia."
Ucapan siswi itu terdengar ragu. Mina bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Emblem yang terlihat di lengan kemeja menandakan bahwa dia adalah siswi kelas X.
"Siapa?" tanya Mina saat dia berdiri.
"Katanya datang aja. Guru...." Sesaat setelah mengatakan kalimat itu, siswi tersebut buru-buru keluar dari kelas. Mina hanya bisa terheran, tetapi tak tinggal diam dan memutuskan segera menuju laboratorium Kimia.
Tiba di tujuan, Mina hanya melihat ruangan yang kosong. Mina bahkan mengira tadinya laboratorium terkunci. Saat melihat pintunya sedikit terbuka, dia masuk sambil melihat sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Namun, suara dari ruang penyimpanan peralatan membuat Mina terdiam.
Ragu mendekat. Sampai akhirnya sosok cowok berseragam SMA muncul.
"Oh, lo udah datang." Devan membuka ruang peralatan itu lebar-lebar. Ruangan kecil yang hanya diisi oleh alat-alat praktikum. Devan mengangkat sebuah kertas. "Gue mau minta tolong cariin ini."
Mina memandang ragu-ragu. "Katanya ... gue dicariin guru."
"Soalnya kalau anak tadi bilang sebenarnya gue, lo nggak mungkin datang, kan?" tebak Devan. Mina memandangnya datar. Devan berdecak sambil menunjuk kertasnya. "Bantuin gue, ya? Gue nggak tahu apa pun soal yang ada di sini."
Mina bisa saja menjawab dengan sarkasme. Ada banyak cara yang bisa dilakukan cowok itu. Sudah jelas terlihat Devan hanya mencari kesempatan meski Mina tak tahu apa rencana Devan.
Satu hal yang Mina inginkan. "Gue bantuin, tapi ada syaratnya."
"Apa?" Devan bersedekap. "Apa pun itu, kok."
"Agnia," gumam Mina. "Agnia nggak mungkin tiba-tiba ngejauhin gue jadi gue yakin lo pasti yang nyuruh Agnia jauhin gue, kan?"
Devan menahan tawa sampai dia menunduk. Mina tak melihat lucunya di mana.
"Nggak, kok." Devan menegakkan punggung. "Tapi ya kalau memang Agnia jauhin lo, setelah ini gue pastiin dia datangin lo lagi. Jadi, nih." Devan mengulurkan tangannya dan tersenyum penuh arti ketika Mina berjalan mendekatinya meski ragu.
Mina menarik kertas dari tangan Devan, lalu tanpa mengatakan apa pun memasuki ruangan itu. Dia mulai mencari peralatan yang tertera di kertas. Tak peduli untuk apa Devan mengambil peralatan itu, setahunya Devan berada di jurusan IPS. Hal yang terpenting bagi Mina adalah menyelesaikan semua ini agar dia segera bertemu Agnia yang entah di mana sekarang.
Devan melangkah ke ruangan itu. Berhenti di belakang Mina dengan jarak dua meter darinya. Mina sedang serius mencari alat praktikum. Terkadang dia menunduk membuka lemari bawah, terkadang dia berjinjit mengambil alat di rak atas, lalu menyimpan alat-alat tersebut di meja sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Teen Fiction"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...