Mina masih berdiri kaku memandang Verner yang menjauh darinya sambil menunduk dan tertawa kecil. Mina mengepalkan tangan di sela-sela air mata yang terus tumpah. Kapan dia bisa berani melawan? Disaat dia terpojok oleh segala tingkah kurang ajar kaum laki-laki, dia selalu tak bisa berbuat apa-apa selain ketakutan dan menangis.
"Lo pikir gue serius?" Verner memandangnya. Tawa itu tergantikan oleh senyum geli. "Gue lagi pengin ngebuktiin istilah mengenai kalau fobia sesuatu itu harus dihadapin, bukannya dijauhi. Katanya itu cara supaya fobia hilang."
Mina mengernyit takut. "Lo pikir untuk ngilangin rasa takut gue terhadap cowok, gue harus ngelakuin hal yang enggak-enggak ... ciuman ... bareng lo ... gitu?"
"Bukan gitu, Mina." Verner menghela napas dan menghadap Mina. Dia menjaga jarak demi memberi kenyamanan dan rasa aman meski tak sepenuhnya bisa membuat cewek itu merasa aman sepenuhnya. "Anggap gue hiu. Kalau lo fobia hiu, apa lo harus dimakan hiu dulu biar nggak ngerasa takut lagi? Enggak, kan? Cukup ngelihat dari dekat. Dan amati. Lo nggak perlu takut, cukup waspada. Ada kaca yang menghalangi antara lo dan hiu dan apa yang harus lo takuti? Hiu itu tiba-tiba ngeretakin kaca dan makan lo? Engga, kan?"
Mina terdiam akan perumpamaan itu. Mina paham maksud Verner. Akan tetapi, bagaimana pun semua yang dikatakan Verner tak sesederhana itu.
"Seperti ini." Tangan Verner bergerak menuju rambut Mina terlihat ingin mengelusnya, tetapi dengan cepat Mina menghindar panik. Verner tersenyum bangga. "Cukup dengan waspada, Mina."
Mina tidak suka ketika Verner menyebut namanya pelan karena setiap kali cowok itu menyebut namanya, suaranya terdengar halus dan ... seperti bukan Verner sang monster.
"Nggak usah sebut nama gue," cicit Mina. Dia sangat tidak suka itu setiap kali Verner menyebut namanya.
Verner tak peduli dan memang suka mengeja nama itu. Baginya unik ketika M dan N berdekatan. Agak absurd, memang. Entahlah. Verner hanya senang.
Selain karena ingin menebus kesalahannya, Verner tertarik berinteraksi dengan Mina karena baru kali ini dia bertemu dengan seorang cewek yang unik. Cewek yang takut dengan laki-laki? Fobia laki-laki? Selama ini cewek-cewek yang dia temui tidak seperti itu, hampir semua nyaris agresif. Sebagian lagi sangat santai dalam bersikap seperti Auris.
Namun, seorang Mina bisa kabur hanya melihat laki-laki ada di dekatnya.
"Lo nggak boleh takut sama cowok, tapi harus berani." Verner memandang Mina lekat-lekat. "Gue janji bakalan bantuin lo. Sampai lo bisa berani. Dimulai dari ... gue anter jemput lo sekolah. Oke?"
Mina mendongak heran. Mina sangat ingin biasa saja berhadapan dengan para laki-laki. Mina sangat ingin tidak peduli jika berada di sekitar laki-laki. Namun, Verner berniat membantunya? Cowok yang dengan tega menciumnya tanpa permisi dan sudah menghancurkan namanya di sekolah?
"Ayo." Verner menarik tangan Mina, membawanya pergi dari tempat itu. Mina berusaha menarik tangannya dan jalannya yang buru-buru menyamakan langkah Verner. Verner menoleh kepadanya sambil tersenyum menenangkan.
"Jangan takut, Mina."
Mina langsung terdiam. Baru kali ini tangannya digenggam tulus oleh cowok dan Mina takut. Rasa takut itu terus melekat sampai jantungnya berdegup kencang, membuatnya sesak dan menangis tanpa suara tanpa sepengetahuan Verner yang sedang fokus ke jalan.
Mina diam-diam menghapus air matanya dan mencoba untuk tidak ketakutan. Tangannya gemetar, tetapi Verner berusaha memberi kenyamanan dengan menuntunnya lembut tidak seperti sebelumnya yang memaksa dengan kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Teen Fiction"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...