33.

2.3K 192 2
                                    

Mina tak bisa berhenti menangis melihat dua makam yang berjejer. Sehari Kakek ditinggal oleh Nenek, Kakek menyusul di hari berikutnya. Mina yang tak siap dengan kepergian mereka yang terlalu tiba-tiba membuat Mina terus menangis selama dua hari berturut-turut sampai kelopak matanya membengkak.

Di sepanjang pemakamam Kakek, Mina sudah berusaha untuk tidak menangis. Sepanjang waktu Verner yang menenangkannya. Verner selalu ada sejak hari kemarin Nenek dimakamkan. Hari ini pun, saat Verner mengetahui bahwa Kakek Mina meninggal, Verner buru-buru ke rumah Mina dan menenangkannya.

Bahkan Mina tak lagi peduli dengan keberadaan Baron yang beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Kali ini laki-laki itu ketahuan oleh Verner. Verner hanya melihat ke arah Baron yang sedang pura-pura melihat makam Kakek.

Bukan hanya perasaan Verner saja. Kenyataannya, Baron memang tertarik pada Mina yang semakin bertumbuh. Tatapan mata Baron tak bisa bohong. Verner melihat bagaimana Baron sangat mendambakan anak tirinya sendiri.

"Ayo, pulang." Verner menuntun Mina untuk segera pergi mengikuti yang lain. Pemakaman sudah selesai, tetapi Mina tidak menurut melainkan berjongkok di samping makam Kakek sembari memegang batu nisan dan menangis.

"Aku nggak nyangka Kakek dan Nenek bakalan pergi tiba-tiba." Mina merapatkan bibir, menahan diri untuk tidak terisak. Verner mengusap bahunya pelan.

"Kalau kamu sedih, Kakek dan Nenek kamu juga akan sedih," bisik Verner. "Ikhlasin. Biarin mereka tenang."

Mina semakin terisak dan Verner langsung membawa kepala Mina ke dadanya. Pemandangan itu tak lepas dari Baron.

[]

Satu minggu setelah Kakek dan Nenek pergi, tanpa ada pembicaraan jauh-jauh hari, Mama tiba-tiba mengatakan akan keluar negeri.

"Kok tiba-tiba? Kenapa nggak ngomong dari dulu? Aku nggak mau!" Mina tidak peduli soal Baron. Kenyataannya, kepergian Mama tanpa Baron hanya akan membuat Mina semakin merasa terancam.

"Aku baru aja kehilangan Kakek dan Nenek, tapi Mama tiba-tiba ninggalin aku sendirian? Aku nggak siap, Ma."

Di kamar itu, Mama menarik tangan Mina sambil menghela napas. "Mama harus nerusin pendidikan di sana. Mama nggak ngomong ini dari dulu karena memang tiba-tiba. Waktu Mama pengin bahas sama kamu, kamu selalu nggak ada."

Mina membuang pandangan kesal.

"Kakek dan Nenek udah nggak ada. Kamu nggak mungkin tinggal sendirian. Jadi, Mama titip kamu ke ayah kamu, ya."

Mina memandang Mama. Awalnya bingung, sebutan ayah tak mungkin mengarah ke Papa. Bagaimana mungkin Mama bertemu dengan Papa. "Maksud Mama. Ayah...."

"Ayah kamu. Siapa lagi?"

Mina mematung. "Baron?"

"Panggil ayah. Sudah berapa kali Mama bilang. Dia itu ayah kamu. Ayah kamu, Mina!"

Mina menggigit bibir saking kesalnya, tetapi dia tidak akan bicara apa pun agar pertengkaran kecil itu segera berakhir.

"Kamu tinggal sama ayah kamu. Kalau Mama pergi, siapa yang urus ayah kamu? Cuma kamu, kan."

"Aku nggak mau!" Mina menepis tangan Mama dan menjauh. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak ketakutan, dia hanya menutup wajah dengan kedua tangan dan berujar pelan. "Aku ... aku mau tinggal sendirian di rumah Kakek. Biar aku mandiri."

Itu adalah alasan yang masuk akal. Mina hanya bisa berharap Mama mengiyakan. Dia juga sudah berusaha untuk tidak membawa nama Baron dalam ucapannya agar tak menjadi masalah lagi.

"Ya sudah." Mama menunduk sembari menumpukan dahi pada tangan. "Kamu juga bisa ajak Agnia sesekali ke rumah. Mama nggak bisa maksa kalau itu pilihan kamu."     

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang