"Devan ada?"
Agnia memandang Dara, adik perempuan Devan yang masih SD itu. Dara hanya melirik Agnia tanpa mengatakan apa-apa. Malas untuk membalas dan lebih memilih bersantai di ayunan bawah pohon. Sikap ketusnya sudah bukan hal aneh lagi bagi Agnia. Bukan hanya Dara yang tak mau akrab dengannya, tetapi kedua orangtua Devan juga.
Mau tak mau Agnia terus melangkah ke rumah Devan dan terus ke kamar Devan. Agnia melupakan semua rasa canggungnya ketika memasuki rumah itu. Dia bersyukur kedua orangtua Devan tak terlihat. Dibukanya pintu kamar Devan yang tak terkunci. Dia memandang Devan yang baru saja bangun tidur,
Agnia tidak akan langsung mendatangi Devan jika Devan tidak tiba-tiba memblokir nomornya. Bahkan saat menghubungi Devan dengan nomor baru, cowok itu langsung mematikan ponsel ketika mendengar suara Agnia.
"Kenapa kamu tiba-tiba ngeblok nomor aku?" tanya Agnia sedih melihat Devan menggaruk kepala dengan cuek. "Devan! Aku nggak lagi bercanda. Foto yang aku kirim itu beneran. Aku udah ngecek dengan testpack yang beda-beda dan semua hasilnya sama. Aku hamil!
"Berisik anjing!" teriak Devan sampai bahu Agnia terangkat kaget.
"Lo pikir gue bego, hah? Kita sering pakai pengaman!" Devan menunjuk-nunjuk perut Agnia dari jauh, murka. "Dan itu bukan anak gue."
"Kamu nggak inget? Aku bahkan inget sampai sekarang kamu pernah kehabisan dan tetep lanjut. Kamu juga bilang aku nggak mungkin hamil karena aku lagi nggak masa subur. Dan yang paling penting aku nggak pernah berhubungan sama cowok lain selain kamu."
"Ah, berisik!" Devan mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Dia bangun dari tempat tidurnya dan menarik rambut Agnia hingga Agnia berteriak kesakitan.
"Heh, perek. Apa buktinya kalau cuma gue yang pernah tidurin lo? Sini lo!" Devan menyeret Agnia dengan menarik rambutnya hingga Agnia menangis kesakitan. Ketika tiba di pintu, cowok itu mendorong Agnia keluar. Agnia jatuh ke lantai memandang Devan dengan air mata berlimpah di wajah.
Devan melirik sekelilingnya, lalu memandang Agnia. "Pokoknya gue yakin bukan gue penyebabnya. Nggak mungkin gue segegabah itu, sialan. Lo mau gue bantu, kan? Nah, sana cari dokter kandungan. Gugurin kandungan lo."
BRAK. Devan menutup pintu, meninggalkan Agnia yang tak bisa berhenti menangis di depan rumah Devan.
Agnia malu menceritakan masalahnya kepada Mina, apalagi membahas masalah ini kepada kedua orangtuanya.
Agnia tak bisa melakukan apa-apa selain berusaha sendiri, menyembunyikan kehamilannya. Meski tak rela menggugurkan janin di perutnya, Agnia lebih takut mempermalukan kedua orangtuanya di hadapan keluarga lain.
[]
"Kamu baik-baik aja kan di sana?" tanya Verner lewat video call.
Pertanyaan Verner dibalas dengan anggukan kepala oleh Mina. Mendengar suara Verner saja, Mina sudah merasa tenang. Sudah 3 jam sejak tiba di rumah itu Mina tak keluar dari kamar. Tak ada suara berisik atau tanda-tanda kehidupan di luar sana. Dia bahkan menghubungi Papa yang ternyata masih di kantor. Mina terpaksa menahan haus.
"Kamu lagi di mana?" Mina melihat sprei berwarna krem yang menjadi alas tempat Verner berbaring. "Kayak bukan di apart."
"Iya, aku lagi di kamar ... rumah Papa."
"Ohh." Mina menaruh pipinya di bantal. Harum bunga tercium. Mina tak menyangka kamar ini dibuat begitu nyaman. Mina melirik pintu yang baru saja diketuk diikuti namanya yang dipanggil. "Ver, udah dulu, ya. Papa udah datang."
Verner mengangguk-angguk. Mina melambaikan tangan dan kemudian panggilan video itu berakhir. Mina segera turun dari tempat tidurnya dan membuka pintu. Ketika membuka pintu, senyum hangat Papa terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Novela Juvenil"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...