Setelah selesai memakai dress hitam itu, Mina duduk di meja belajar. Diambilnya sebuah kaca kecil yang belum dia pindahkan sejak semalam, lalu dipandanginya wajahnya sendiri yang tidak terlapisi apa pun. Mina menghela napas dan menunduk.
Kalung yang Agnia berikan sama sekali tidak dia gunakan. Sudah dapat dipastikan Agnia akan mengomel saat tahu Mina tidak memakai pemberiannya. Mina mengambil dua jepitan kecil hitam polos yang sering dia gunakan di rumah, lalu memakainya di dua sisi rambut bagian atas telinga.
Ada suara mobil di luar sana dan Mina yakin itu pasti Devan. Mina menghela napas malas. Dia mengambil kado untuk Auris yang terletak di meja belajar dan segera memakai sepatu pemberian Agnia setelah itu. Mina tidak membawa dompet dan menggantinya dengan sling bag coklatnya. Mina menebak bagi Agnia pasti perpaduan ini tidak cocok. Namun, bagi Mina begini lebih nyaman dibanding harus menenteng dompet ke mana-mana.
Mina berpamitan pada Nenek dan Kakek. Memang hanya ada mereka bertiga di rumah itu. Mama memang anak bungsu dan semua saudara Mama punya rumah masing-masing. Mina adalah satu-satunya cucu yang dekat dengan Kakek dan Nenek.
Tiba di luar pagar, Agnia sudah berdiri di sisi mobil sambil bersedekap. "Dompet yang tadi ke mana, Na?"
Mina menggeleng. "Lagi nggak pengin repot-repot bawa." Mina membekap kado. Dia berjalan ke sisi mobil belakang dengan kaku.
"Lo nggak bedakan?" tanya Agnia heran. Mina menjawab dengan anggukan kecil. "Untung muka lo tipe muka yang nggak mudah jerawatan, tapi tetep aja lo pucat."
Mina tak menggubris. Dia masuk ke mobil setelah Agnia masuk. Tak ingin membahas apa pun, maka dari itu Mina hanya diam memandang ke jendela. Agnia sejak tadi terus mengobrol dengan Devan.
"Haha, iya. Eh si Mina mungkin satu-satunya nggak punya gandengan di sana." Agnia tertawa. Tidak mengejek. Dia bercanda dan dia tidak akan peduli bagaimana Mina sangat benci jika dia mulai membahas hal-hal yang mengarah ke pacar, cowok, pasangan, dan sejenisnya.
"Na." Agnia menoleh ke arah Mina dengan senyum usil. "Temen-temen Devan banyak, loh."
"Gue tahu," balas Mina singkat. Mina tidak menatapnya lagi, tapi dia bisa merasakan Agnia tengah tersenyum.
"Yakin nggak mau gue kenalin?" tanya Agnia lagi.
Mina berdecak kecil. Mengenalkan dirinya ke teman-teman Devan? Mina sangat yakin Devan tidak sudi dengan itu. Saat Mina melihat ke kaca mobil, Devan tengah menatapnya dengan lirikan sinis.
Andaikan Mina berani, sudah sejak dulu Mina bicara empat mata dengan Devan dan melarangnya untuk memanfaatkan tubuh Agnia dan menyuruhnya untuk lebih menghargai Agnia.
"Na, lo pasti udah tahu kan temen-temen Devan yang lain? Nggak mungkin lo nggak tahu," kata Agnia lagi.
"Gue nggak tahu," balas Mina pelan.
"Bercanda lo. Dana, Gilang, Yuan, sama Verner? Gila aja lo nggak tahu."
Iya, gue gila, batin Mina, kesal dalam hati.
"Ingat Gilang doang karena namanya mainstream di Indo." Balasan Mina mendapatkan tawa dari Devan. Mina meliriknya sinis.
"Ya, mana Mina tahu, Yang. Mina kan temenannya sama para kutu buku di sekolah," balas Devan dengan tawa mengejek. Mina mengalihkan pandangan ke jalanan.
"Pengin aku kenalin ke Verner, tapi Verner nggak suka terikat dengan cewek," kata Agnia pada Devan.
"Jangan Verner lah. Temen kamu terlalu polos untuk Verner yang liar. Nggak pantes."
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Teen Fiction"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...