55.

1.6K 162 25
                                    

Mina berdiri mematung di beranda rumah. Sementara pandangannya tertuju pada Alva yang sedang berdiri acuh di dekat motornya.

"Jadi, kamu bisa bareng Alva, ya. Papa dan Karen searah. Alva katanya masuk siang." Papa menepuk pundak Mina. "Ayo. Nanti terlambat."

Papa mengulurkan tangan. Mina menciumnya cepat. Setelah mengetahui fakta masa lalu Papa dan Mama, Mina sejujurnya langsung ingin pergi dari rumah itu hari ini juga. Namun, dia harus punya alasan yang jelas dulu. Terlalu dini untuk pergi.

Lagipula, dia ingin membicarakan masalah di mana dia tinggal ke Verner karena jika Papa membiarkannya pulang, maka hanya rumah almarhum Kakek satu-satunya tempat Mina pulang.

Kecuali, Verner membiarkannya tinggal di apartemen itu lagi.

Mina juga ingin membuktikan kepada Alva dan Karen bahwa Mama tak bersalah.

Alva melirik Papa yang sudah menjauh ke mobil, lalu melihat ke arah Mina. "Bangsat, cepetan. Ngapain lo diem di situ?"

Mina memandang Alva kesal, tetapi tak mau bertindak gegabah dulu. Dia berjalan ke motor Alva dan memikirkan pasti Alva juga malas mengantarnya sampai di sekolah. Kakaknya itu pasti akan menurunkannya di jalan. Setelah itu, Mina akan mencari kendaraan umum.

Salah besar. Tak ada satu pun berjalan sesuai rencana Mina. Alva mengantarnya sampai tiba di depan sekolah. Gaya berpakaian Alva yang bak preman membuat semua mata tertuju kepadanya terutama para siswi. Dia semakin menjadi pusat perhatian ketika membuka helm dan memperlihatkan wajahnya yang rupawan, yang terlihat cocok dengan rambut gondrongnya yang terikat.

Mina turun dari motor itu dan membuka helm. Alva juga turun dari motornya. Setelah Mina menyimpan helm dengan asal di atas jok motor, Mina langsung pergi. Malas berinteraksi. Namun langkahnya terhenti saat Alva menarik pergelangan tangannya kencang.

"Mau kabur lo?" bentak Alva. "Nyokap lo di mana sekarang?"

"Apa, sih?" Mina menggerakkan tangannya, berusaha lepas dari Alva. Kebencian di mata Alva tergambar jelas. Mina semakin takut ucapan Alva malam itu serius. Sekali pun Mama tak di Indonesia, Mina tak akan memberitahukan informasi itu kepada Alva. "Lepasin!"

"Kasih tahu gue dulu di mana nyokap lo sekarang?"

Mina berhenti menggerakkan tangannya karena tahu lepas dari Alva hanya sia-sia. "Buat apa lo harus tahu? Lo punya dendam sendiri? Lo salah paham. Kalau lo pikir Nyokap gue ngerebut Papa dari Nyokap lo itu salah paham."

"Nggak usah banyak bacot. Lo pikir gue nggak bisa nyari tahu sendiri pelacur itu di mana?"

Mina melirik sekeliling. Dia nyari saja berteriak karena emosi. Siswa-siswi lain sedang memperhatikannya meski mereka tetap memilih meneruskan langkah memasuki sekolah.

Ditatapnya Alva lekat-lekat. "Lo pikir cuma lo yang tersiksa waktu kecil? Gue, lo, Karen, Nyokap gue, dan Nyokap lo. Semuanya cuma korban keadaan Papa. Nyokap gue bahkan nggak tahu Papa udah punya istri dan anak. Dan baru kebongkar setelah beberapa tahun pernikahan mereka. Lo nggak seharusnya ngatain Nyokap gue segitunya kalau nggak tahu keadaan aslinya kayak gimana."

"Oh?" Alva tertawa dan mencengkeram pergelangan tangan Mina hingga cewek itu kesakitan. "Lo habis minta klarifikasi ke Nyokap lo tentang ini? Dia habis ngomong apa? Lo percaya aja? Mana ada dia ngaku?"

"Gue percaya." Mina mengangkat dagunya. "Gue percaya. Ngapain Nyokap gue nggak mau ngaku? Nggak ada gunanya juga kan kalau Nyokap gue bohong?"

"Pelacur mana mau ngaku ke anaknya tentang kebusukannya di masa lalu?"

"Jaga omongan lo, ya!"

Alva memandangnya murka. "Lo berani sama gue?"

"Iya, karena gue atau pun Nyokap gue nggak salah apa pun sama lo. Ngapain gue takut?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang