"Verner, apaan, sih? Kan lo udah janji." Mina terus ditarik ke lapangan yang lebih sepi dan membuatnya semakin takut dengan ancaman Auris yang akan menjadi nyata.
"Gue nggak mau!" bisiknya tertahan, tetapi Verner tak peduli dan terus menariknya hingga mereka berhenti.
Niat Verner membawa Mina ke sini adalah agar mereka punya tempat yang lebih luas dan bebas bicara apa pun. Verner memosisikan diri di belakang Mina dan mulai mengarahkan Mina untuk memegang raket dengan benar. "Gimana gue nggak bertindak? Dia udah satu langkah di depan gue. Ternyata jadi teman sebangku lo."
"Satu langkah di depan? Apa hubungannya ... dengan teman sebangku gue?" tanya Mina ragu dengan pemikiran yang terlintas. Dia tidak mau percaya diri.
Verner menaruh dagunya di bahu Mina, membuat Mina tersentak kaget. Mina sampai sulit bergerak.
"Ya, artinya dia lebih dekat dengan lo setiap hari dibanding gue. Apa perlu gue pindah jurusan dan masuk kelas lo? Usir Darga dari samping lo biar gue bisa duduk di sisi lo."
"Apa...." Mina jadi tidak fokus dengan kalimat-kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Verner. "Buat apa?" Meski tahu ke mana arah perkataan Verner, tetapi Mina masih tidak percaya Verner menyukainya.
Rasanya tidak mungkin.
"Kurang jelas?" Verner membalik tubuh Mina menghadapnya. Dipandangnya sepasang iris mata hitam itu lekat-lekat. Verner tidak mengatakan apa-apa, hanya menghela napas setelah menyadari sepasang mata itu memandangnya shock. Lalu dia menarik tangan Mina dan mulai memberitahukan cara bermain bulutangkis dengan tepat.
Dari jauh Darga menyandarkan lengannya di dinding sembari bersedekap, memandang kedekatan Mina dan Verner dalam diam.
Seorang siswi mendatanginya malu-malu. "Darga..., lo nggak latihan? Mau main ba—"
"Mager."
[]
Ketika pelajaran olahraga sebentar lagi berakhir, guru memberikan waktu kepada semua murid untuk mengganti seragam. Disaat semua berkerumun menuju kelas, Mina memisahkan diri dari Verner. Salah satu penyebab dia melakukan itu karena memang tidak ingin ada di samping Verner dan dari jauh Auris memberikan isyarat kepadanya untuk mengikuti Auris
Meski tak tahu akan dibawa ke mana, Mina hanya mengikut. Semakin melangkah semakin kekhawatirannya membesar. Auris berhenti di lorong sepi dan berbalik. Dipandanginya Mina yang sedang ketakutan. Auris mendengkus.
"Gue nggak bermaksud ada di dekat Verner. Gue udah berusaha ngejauh, tapi ... dia Verner. Dia terlalu maksa dan gue pikir, lo sebagai temannya tahu sifat dia yang kayak gitu."
Auris tidak heran. Dia tahu Verner seperti apa. Namun, dia sedang kesal. Bahkan dia tidak tahu kenapa mengajak Mina ke sini. Langkahnya mendekat tanpa dia sadari. Egonya menyelimuti dirinya. Ketika berhenti tepat di hadapan Mina yang sedang takut, Auris langsung menjambak rambut Mina hingga Mina terkejut dan kesakitan.
"Kalau lo deketin dia lagi, gue beneran ngasih tahu masalah lo yang ciuman sama cowok ke orangtua lo. Bukan cuma orangtua lo, tapi semua orang. Gue sebarin di internet. Gue bikin hidup lo menderita. Kali ini gue ngasih lo kesempatan, tapi lain kali jangan harap gue ngebiarin lo gitu aja."
Mina mengernyit. Hanya berusaha menarik tangan Auris agar menjauh. Amarah Auris tak bisa Mina kalahkan. Auris merenggangkan tangannya saat sadar dia bertindak terlalu jauh. Auris menghela napas menyadari sesuatu. Baru kali ini dia bersikap kasar kepada seseorang.
Semua karena satu. Kecemburuan.
"Ingat itu," katanya, lalu pergi meninggalkan Mina yang masih merasa terpukul. Mina bersandar di dinding sambil memegang jantungnya. Dia tertawa dengan setetes air mata yang jatuh, menertawakan dirinya yang selalu terlihat lemah di depan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Teen Fiction"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...