Verner tak pernah menyangka sosok Mina yang dikenalnya tak banyak tingkah, ternyata bisa menjadi berbeda saat bersamanya. Semakin hari, Mina menunjukkan sosoknya yang ceria, apa adanya, dan terlihat santai melakukan apa pun yang dia mau.
Mina memang pernah bilang, sifat yang dia tunjukkan ke orang asing memanglah seperti bagaimana Verner melihatnya pertama kali. Kepada orang yang sudah sangat membuatnya nyaman, Mina bisa menjadi dirinya sendiri. Mengekspresikan segala bentuk isi hati dengan terang-terangan, bukan lagi memendamnya.
Karena bagi Mina, Verner adalah orang terdekatnya.
Mina sedang serius mengerjakan tugas. Verner tidak. Cowok itu sibuk memperhatikan Mina sambil sesekali tersenyum sendiri. Mereka duduk di karpet dengan buku-buku yang penuh di atas meja. Buku-buku Mina menguasai meja itu sementara buku Verner hanyalah satu buku catatan.
Perbedaan jurusan di antara mereka membuat keduanya tak mungkin belajar bersama. Namun, terkadang Verner bertanya tentang tugas Matematika atau pelajaran yang masih dipelajari Mina. Karena saat ini tugas mereka mengerjakan tugas masing-masing dan Mina tak pernah tahu Verner memandangnya saking seriusnya.
Mina berhenti sejenak. Beristirahat sebentar membuka kacamatanya. Cewek itu merenggangkan tangan, lalu mengikat ulang rambutnya karena ikatannya melorot. Dia memandang Verner yang tak lepas memandangnya dari tadi, lalu melihat halaman Verner yang masih kosong.
"Belum nulis apa pun?" tanya Mina heran.
"Soalnya ada yang ngalihin perhatian dari tadi."
"Ish." Mina blushing. Tahu apa maksud Verner dan refleks memukul pelan lengan cowok itu. "Ayo kerjain tugas. Terus makan malam. Terus tidur."
Raut wajah usil Verner membuat Mina curiga akan sesuatu. "Tidur bareng, tapi?"
"Verner...." Mina memelototinya. Verner sangat suka menggodanya.
Bunyi bel apartemen membuat keduanya sama-sama melihat ke pintu. Bunyi bel sekali lagi. Mina terdiam memandang Verner. Tak biasa ada yang datang.
"Jangan takut." Verner berdiri menaruh tangannya di puncak kepala Mina.
"Aku nggak takut."
"Bagus." Verner meninggalkan Mina yang bertanya-tanya. Setibanya di pintu, Verner membukanya ragu. Verner bisa menebak siapa itu. Seseorang yang berusaha menghubunginya sejak kemarin dan jika tiba-tiba ada tamu seperti ini, maka dipastikan yang datang adalah orang itu.
Papanya. Papa kandungnya.
Ketika Verner membuka pintu pelan, sosok papanya berdiri dengan tatapan tegas. Berpenampilan yang masih terlihat rapi meski dasinya sudah lepas. Sosok yang masih gagah dengan tubuh atletis di umurnya yang memasuki 45 tahun.
Verner sama sekali tidak menyuruh papanya masuk.
"Kamu sengaja nggak bisa dihubungi." Papanya menatapnya tajam. "Kamu nggak belajar tata krama sama sekali?"
Verner mendengkus. Bagaimana belajar tata krama jika pendidikan seperti itu tak dia dapat dari papanya sendiri.
"Papa mau ngomongin hal penting."
Ucapan papanya sama sekali tak Verner inginkan. Andaikan bisa memutus hubungan, sudah dia lakukan sejak dulu. Namun, dia adalah satu-satunya anak laki-laki yang sialnya terlahir dari insiden tak diinginkan.
Orang-orang mengatakan ibunya adalah simpanan seorang pengusaha kaya. Masa-masa itu ibunya menjadi bulan-bulanan media. Difitnah sana-sini. Padahal faktanya tak seperti itu.
Tak ada yang tahu dan tak ada yang mau tahu bahwa ibunya diperkosa oleh si biadap di depannya ini.
Pria itu tak sengaja melihat ke dalam. Seorang remaja perempuan yang membuatnya curiga. Papanya berjalan memasuki apartemen Verner dan melihat Mina yang terkejut memandangnya. Laki-laki itu duduk di sofa tepat di hadapan Mina dan memandang Mina yang bingung harus melakukan apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Teen Fiction"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...