10.

3.7K 212 3
                                    

Devan datang bersama  Agnia setelah Mina terpaksa berada di ruangan yang sama bersama Verner  selama berjam-jam. Rasa pegal di tubuhnya karena terus duduk tanpa  banyak bergerak akhirnya tergantikan oleh perasaan lega.

Verner mendengkus ketika membuka pintu dan melihat Devan berdiri di depan pintu sembari memeluk pinggang Agnia.

"Udah seneng-senengnya?"  sindir Verner sambil melebarkan pintu, memberikan jalan kepada Mina  yang sejak tadi memojokkan diri di dinding karena kehadirannya di dekat  cewek itu.

Mina langsung keluar sambil menarik Agnia sehingga Devan mau tak mau melepas Agnia dan membiarkannya pergi.

"Yang, aku pulang dulu,  ya!" teriak Agnia sambil melambaikan tangan bersamaan dengan Mina yang  terus menariknya tanpa mau menoleh ke belakang lagi.

Tiba di depan lift,  wajah kusut Mina dia lemparkan kepada Agnia. Agnia hanya tersenyum  paksa. Tanpa mengatakan apa pun, dengan tangan yang menggenggam Agnia  erat, Mina menarik Agnia masuk ke lift yang sudah terbuka.

Verner memperhatikan tingkah Mina sampai Mina memasuki lift.

Devan menggigit pipi dalam dan mendengkus sebal. "Gimana? Utang gue udah lunas kan? Gue barhasil bawa dia ke sini."

Verner memandang Devan malas. "Ya," katanya singkat sembari menutup pintu dan langsung ditahan oleh Devan.

Devan menyeringai. "Empat jam ngapain aja lo sama gembel itu?"

Verner memandang Devan  tajam. "Sekali lagi lo ngomong ke arah yang enggak-enggak tentang dia,  gue bakalan terjunin lo dari lantai atas."

BRAK

Devan menunduk dan menggeram sambil memegang hidungnya yang terkena pintu. "Argh! Anjing. Bangsat."

[]

Selama perjalanan  pulang menaiki taksi, Agnia diam sambil menggigit bibir gelisah. Mina  terus memandangnya bagai silet yang siap menggoresnya. Meski tak melihat  Mina dan apa yang Mina lakukan, Agnia bisa merasakan bagaimana tatapan  Mina kepadanya saat ini.

Mina juga meski sedang  diam, tetapi dia sangat ingin bicara. Hanya saja jika membahas apa yang  ada di benaknya, maka sopir taksi juga akan menguping.

Mina sedih melihat tanda  di leher Agnia saat memperhatikannya sebelum memasuki taksi. Itu sudah  pasti jejak yang sengaja ditinggalkan oleh Devan. Rasanya Mina ingin  menangis. Rasanya Mina lagi-lagi gagal menjadi sahabat Agnia. Harusnya  dirinya bisa menjadi lebih tegas daripada harus selalu merasa tidak  enak.

Taksi itu akhirnya tiba  di depan ruma Agnia. Keduanya turun dan Mina mendiamkan Agnia bahkan  Agnia tidak berani lagi untuk bicara.

Kaki Mina berhenti  melangkah saat menyadari ada sebuah mobil di garasi rumah Nenek. Mobil  yang sangat dia kenali itu membuat tubuhnya membatu. Mobil milik ayah  tirinya. Kenapa pria berengsek itu ada di rumah? Pasti bersama Mama.

"Na, lo mau ngomong  sesuatu sama gue?" Agnia harap-harap cemas sembari memainkan kukunya.  Mina masih berdiam diri, membuat Agnia serba salah dan berpikir bahwa  Mina sedang menimbang untuk mengajaknya bicara.

Pintu rumah Nenek baru saja dibuka dan Mama muncul dengan wajah khawatir.

"Ini sudah jam berapa  kenapa baru pulang? Dari mana aja kamu?" Bentakan itu terselip  kekhawatiran. Mina hanya diam dengan cemas. Seseorang yang tidak dia  harapkan memunculkan diri di dekat pintu sambil memegang sebatang rokok  yang sudah tinggal setengah.

"Habis dari kerja kelompok, Tante!" Agnia menghampiri Mina sambil tersenyum semringah memegang lengan Mina. "Halo, Om!"

"Hai." Senyuman ayah  tiri Mina membuat Mina mual. Mata kotor yang dilihatnya itu sedang  memperhatikan lekuk tubuh Agnia diam-diam. "Udah jam berapa ini? Masa  kerja kelompok sampai jam begini. Mana bukunya? Tas sekolah?"

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang