Devan datang bersama Agnia setelah Mina terpaksa berada di ruangan yang sama bersama Verner selama berjam-jam. Rasa pegal di tubuhnya karena terus duduk tanpa banyak bergerak akhirnya tergantikan oleh perasaan lega.
Verner mendengkus ketika membuka pintu dan melihat Devan berdiri di depan pintu sembari memeluk pinggang Agnia.
"Udah seneng-senengnya?" sindir Verner sambil melebarkan pintu, memberikan jalan kepada Mina yang sejak tadi memojokkan diri di dinding karena kehadirannya di dekat cewek itu.
Mina langsung keluar sambil menarik Agnia sehingga Devan mau tak mau melepas Agnia dan membiarkannya pergi.
"Yang, aku pulang dulu, ya!" teriak Agnia sambil melambaikan tangan bersamaan dengan Mina yang terus menariknya tanpa mau menoleh ke belakang lagi.
Tiba di depan lift, wajah kusut Mina dia lemparkan kepada Agnia. Agnia hanya tersenyum paksa. Tanpa mengatakan apa pun, dengan tangan yang menggenggam Agnia erat, Mina menarik Agnia masuk ke lift yang sudah terbuka.
Verner memperhatikan tingkah Mina sampai Mina memasuki lift.
Devan menggigit pipi dalam dan mendengkus sebal. "Gimana? Utang gue udah lunas kan? Gue barhasil bawa dia ke sini."
Verner memandang Devan malas. "Ya," katanya singkat sembari menutup pintu dan langsung ditahan oleh Devan.
Devan menyeringai. "Empat jam ngapain aja lo sama gembel itu?"
Verner memandang Devan tajam. "Sekali lagi lo ngomong ke arah yang enggak-enggak tentang dia, gue bakalan terjunin lo dari lantai atas."
BRAK
Devan menunduk dan menggeram sambil memegang hidungnya yang terkena pintu. "Argh! Anjing. Bangsat."
[]
Selama perjalanan pulang menaiki taksi, Agnia diam sambil menggigit bibir gelisah. Mina terus memandangnya bagai silet yang siap menggoresnya. Meski tak melihat Mina dan apa yang Mina lakukan, Agnia bisa merasakan bagaimana tatapan Mina kepadanya saat ini.
Mina juga meski sedang diam, tetapi dia sangat ingin bicara. Hanya saja jika membahas apa yang ada di benaknya, maka sopir taksi juga akan menguping.
Mina sedih melihat tanda di leher Agnia saat memperhatikannya sebelum memasuki taksi. Itu sudah pasti jejak yang sengaja ditinggalkan oleh Devan. Rasanya Mina ingin menangis. Rasanya Mina lagi-lagi gagal menjadi sahabat Agnia. Harusnya dirinya bisa menjadi lebih tegas daripada harus selalu merasa tidak enak.
Taksi itu akhirnya tiba di depan ruma Agnia. Keduanya turun dan Mina mendiamkan Agnia bahkan Agnia tidak berani lagi untuk bicara.
Kaki Mina berhenti melangkah saat menyadari ada sebuah mobil di garasi rumah Nenek. Mobil yang sangat dia kenali itu membuat tubuhnya membatu. Mobil milik ayah tirinya. Kenapa pria berengsek itu ada di rumah? Pasti bersama Mama.
"Na, lo mau ngomong sesuatu sama gue?" Agnia harap-harap cemas sembari memainkan kukunya. Mina masih berdiam diri, membuat Agnia serba salah dan berpikir bahwa Mina sedang menimbang untuk mengajaknya bicara.
Pintu rumah Nenek baru saja dibuka dan Mama muncul dengan wajah khawatir.
"Ini sudah jam berapa kenapa baru pulang? Dari mana aja kamu?" Bentakan itu terselip kekhawatiran. Mina hanya diam dengan cemas. Seseorang yang tidak dia harapkan memunculkan diri di dekat pintu sambil memegang sebatang rokok yang sudah tinggal setengah.
"Habis dari kerja kelompok, Tante!" Agnia menghampiri Mina sambil tersenyum semringah memegang lengan Mina. "Halo, Om!"
"Hai." Senyuman ayah tiri Mina membuat Mina mual. Mata kotor yang dilihatnya itu sedang memperhatikan lekuk tubuh Agnia diam-diam. "Udah jam berapa ini? Masa kerja kelompok sampai jam begini. Mana bukunya? Tas sekolah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
أدب المراهقين"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...