Mina terbangun dari tidurnya yang nyenyak oleh suara panggilan telepon. Ponselnya terus bergerak karena getaran di atas nakas. Mina bangun mengumpulkan kesadaran sedikit demi sedikit dan melihat nomor baru muncul di layar ponselnya.
Dia tidak ingin menerima panggilan dari nomor asing, tetapi juga khawatir jika itu penting. Sebelum berakhir, Mina segera menerimanya dan menunggu si pemanggil bicara lebih dulu.
"Halo, Mina?" Panggilan Devan yang terdengar genit membuat Mina hampir mual karena jijik. "Verner di sini lagi mabuk. Nggak mau lo jemput? Tadi mau nyetir katanya. Gue males nganterin pulang."
Sudah Mina duga. Maaf dari Devan saat itu tak ikhlas. Dia kembali berulah.
"Sebagai teman harusnya nggak lo biarin, dong. Kalau dia kenapa-kenapa gimana?"
"Ya bukan urusan gue?" Devan tertawa mengejek. "Ver, sini kunci lo. Malah mau nyetir."
Ucapan Devan yang terkesan alami membuat Mina percaya Verner ada di sana dan sedang mabuk.
"Gue ada urusan. Lo jemput gih. Bawa ke taksi sana."
"Tapi kan lo bisa bawa langsung ke taksi! Terus arahin ke apartemennya. Gue jemput di lobi."
"Gue nggak mau, tuh?"
Mina mengernyit kesal. Semakin kesal saat Devan mengakhiri sambungan telepon dengan tiba-tiba. Satu pesan dari Devan kemudian dia terima.
|| Cepetan gue buru-buru pergi. Bentar gue kirim lokasinya
Mina segera memakai jeans dan hoodie. Sejujurnya dia takut melihat nama tempat yang Devan kirim. Mina tak pernah pergi ke sana. Apalagi sendirian. Namun, di pikiran Mina hanya bagaimana agar dia cepat datang ke tempat itu menjemput Verner sebelum Devan pergi. Hanya Devan satu-satunya alat komunikasi agar dia bisa sampai di hadapan Verner.
Dia nekat pergi sendirian. Saat tiba, Devan menunggunya di depan dan membuat Mina mudah untuk masuk karena cowok itu punya kenalan di sana. Mina sangat tidak nyaman melewati lautan manusia yang sedang bersenang-senang dengan musik. Dentuman suara musik dan rasa takut membuat degupan kencang di jantungnya menjadi berkali-kali lipat dari biasa.
Devan tersenyum membuka sebuah ruangan, mempersilakan Mina masuk dan segera menutupnya. Mina melihat setiap sudut dan hanya ada teman-teman Devan selain Verner.
Mina menoleh dan melihat senyum misterius Devan hingga membuatnya ketakutan. "Verner ... ke mana?"
Devan tertawa. "Coba lo cari di belakang sofa? Siapa tahu dia sembunyi?"
"Gue serius!" Mina berteriak tertahan. Ada yang tidak beres. Dilihatnya pintu yang sengaja Devan blokir. Gilang berdiri dari sofa dan menyuruh Devan untuk menyingkir. Mina mengambil kesempatann untuk ikut keluar, tetapi Devan menahan tangannya.
"Mau ke mana, sayang?"
"Lepas!"
"Mau ke mana? Nggak mau tunggu yayang lo dulu?" Devan menarik Mina dengan paksa, mencengkeram tangan Mina yang memaksa untuk dilepas. Cowok itu mendorong Mina ke sofa sambil menyeringai, lalu mengambil botol minuman keras dan menyodorkannya ke mulut Mina dengan paksa.
"Minum ini, sayang."
Mina memukul tangan Devan. Tubuhnya tak bisa bergerak karena Devan menindih bahunya dengan tangan sekuat tenaga. Dia terbatuk-batuk. Tenggorokannya panas. Air matanya keluar saat memandang Devan yang memperlakukannya dengan tak manusiawi.
"Mau lagi?" tawar Devan kembali menyodorkan minuman itu dan menahan bahu Mina sekuat tenaga agar tak bisa bangkit.
"Jangan—" Mina tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya karena kembali merasakan tenggorokannya panas saat alkohol mengalir di sana. Dia terbatuk-batuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Teen Fiction"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...