42

1.7K 146 5
                                    

Mina berlari menghampiri Agnia di koridor ketika tak sengaja melihat sahabatnya itu. Agnia pura-pura tak melihat dan berbalik arah.

"Agni!" teriak Mina, tak peduli beberapa siswi yang menertawainya karena masih teringat insiden saat itu. "Agni, gue mau ngomong."

Mina berhasil menyamai langkah Agnia. "Devan belum ngomong apa-apa sama lo?"

Seketika Agnia berhenti dan memandangnya. "Apa...?"

"Jadi dia belum ngomong apa-apa?" Mina berdecak ketika Agnia menggleng ragu-ragu. Mina menarik tangan Agnia. "Gue perlu ngomong."

[]

Jika tak dipaksa, maka Agnia sudah pergi dan membiarkan Mina kecewa. Namun, kerinduannya untuk berbincang dengan sahabatnya itu menguasai dirinya. Agnia belum tahu juga apa yang Devan katakan kepada Mina sehingga itu bisa menjadi alasan baginya jika saja Devan marah karena dia ingkar janji.

Keduanya duduk di taman. Bangku putih yang catnya sudah lumayan pudar itu menjadi tempat sandaran mereka sembari merasakan angin yang berembus pelan. Menikmati suasana sejuk di bawah pohon yang rindang.

Pandangan Mina tertuju pada daun kering yang terjatuh berkumpul dengan daun kering lainnya di atas rumput yang terpotong rapi. "Gue nebak dia yang nyuruh lo jauhin gue dan bisa aja ngancem lo. Gue pikir masuk akal banget. Lo ngejauhin gue setelah insiden malam itu."

Agnia menoleh keheranan. "Insiden?"

"Iya, gue nampar Devan karena mulutnya udah bau sampah banget."

Seketika Agnia terkejut mendengar Mina bicara sespontan itu. Mina tak pernah seberani itu mengejek orang lain. Mina jadi terlihat lebih lepas. Perubahan yang lumayan cepat untuk ukuran orang yang jarang berinteraksi dengan orang asing apalagi sampai bicara dengan penuh tekanan yang menggambarkan kemarahannya dengan terang-terangan. Agnia tak tahu bagaimana bisa Verner mengubah Mina dalam waktu singkat.

"Nggak, kok. Devan nggak maksa gue buat jauhin lo...," gumam Agnia.

"Nggak usah takut, Ag. Gue udah ngomongin soal ini dan Devan ngebiarin gue deket lo lagi." Mina menghela napas. "Kenapa seolah-olah apa-apa harus izin ke dia? Padahal dia cuma pacar."

Agnia terdiam tak mau menjawab. Dia juga merasa sangat bersalah saat-saat Mina kehilangan dia malah memilih mempertahankan hubungannya bersama Devan dibanding sahabatnya sendiri.

Bahkan saat Agnia ingin menjenguk Mina yang kehilangan Kakek dan neneknya dua hari berturut-turut itu, Devan tak mengizinkan dan ketika Agnia bersikeras untuk mendatangi Mina hanya untuk sekadar menenangkannya dari kesedihan, Devan malah memblokir nomornya.

Masa-masa itu, bukannya mendatangi Mina yang suara tangisnya terdengar sampai ke rumah, Agnia malah ke rumah Devan untuk meminta maaf dan janji tidak akan mendekati Mina lagi.

"Lo kok bisa tahan sama Devan, sih?" Mina mendengkus sebal. "Sifatnya setan banget."

"Cinta itu buta? Nggak tahu, deh." Agnia tertawa. Mina meliriknya. "Definisi cinta itu buta kayak gimana, ya. Gue juga bisa nanya balik ke elo, kok lo bisa mau sama Verner sih? Dia, kan...."

Ucapan Agnia terhenti membuat Mina penasaran.

Agnia tak mengatakan apa pun karena takut salah bicara. Tadinya, selintas terbayang tentang bagaimana bebasnya Verner saat belum berpacaran bersama Mina. Bukan satu atau dua cewek yang pernah Verner tiduri. Bebas dalam lingkup pertemanan Verner sudah hal biasa.

Namun, Mina. Cewek itu sebelumnya hanya anak rumahan yang nyaris tak pernah berinteraksi dengan yang namanya laki-laki.

Agnia khawatir Mina berakhir seperti dirinya. Satu hal yang agak membuat Agnia lega, yaitu Mina tak terlihat menyimpan sebuah rahasia. Jika pun Verner memang mengambil kegadisan Mina, maka tak mungkin saat ini Mina terlihat santai. Harusnya yang terjadi seperti saat Agnia menangis di pelukan Mina sambil menceritakan bahwa dia sudah tidak lagi perawan.

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang