26.

2.5K 205 6
                                    

"Pacar?" Pandangan Kakek beralih ke arah Mina. Pupilnya agak naik untuk melihat Mina yang baru muncul. "Mina?"

Mina hanya bisa  menringiss bingung. Dipandanginya Verner yang sibuk senyum tanpa dosa  sementara dirinya hanya bisa memaki dalam hati.

"Pacar kuwi opo? (Pacar itu apa?)" tanya Kakek saat kembali beralih kepada Verner.

Verner dan Mina saling pandang. Verner yang melemparkan tatapan bingung padanya dan Mina yang kaku melihat cowok itu.

Mina memandang Kakek dengan wajah tegang. "Pacar kuwi ... konco lanang."

"Oalah." Kakek menepuk-nepuk kursi kayu di sampingnya. "Lungguh sek. Lungguh sek (Duduk dulu)."

Mina melirik Verner yang  lagi-lagi kebingungan. Meski tak mengerti, dia paham lewat isyarat yang  diberikan Kakek. Verner memasuki rumah itu seperti rumah sendiri,  membuat Mina rasanya ingin segera menghilang. Namun, Mina tidak tenang  dan tak bisa meninggalkan mereka berdua.

"Temen aku nggak bisa bahasa Jawa, kayaknya," kata Mina pelan.

"Kok kayaknya?" tanya Kakek heran. "Kalau pacar ya harus tahu pasti. Nggak pakai kayaknya."

Mina menyengir kaku.

"Bikin minum. Ada pacar  kok berdiri di situ aja nggak dilayani." Perkataan Kakek membuat Mina  langsung berbalik sambil terus kesal pada diri sendiri karena tak bisa  berbuat apa-apa.

"Ada urusan apa? Kerja tugas?" tanya Kakek.

Verner menggeleng. "Bukan, Kek. Cuma mau nyamperin."

"Oh, begitu." Kakek  melihat jam di dinding, lalu berdiri bersiap-siap pergi. sejak tadi  Kakek memang sudah rapi. "Aduh. Sayangnya saya nggak bisa temani kamu di  sini. Ngobrolnya sama Mina aja, ya. Saya ada urusan sama pacar."

Verner mengernyit,  tetapi dia tetap berusaha memperlihatkan wajah santai. Kakek akhirnya  pergi tepat saat Mina tiba di ruang tamu. Kepergian Kakek membuat Mina  agak lega, satu yang harus dia lakukan sekarang yaitu menyuruh Verner  untuk pulang.

Mina duduk di kursi yang  berhadapan dengan Verner. Verner memandangnya intens, membuat cewek itu  menaruh nampan berisi teh dan stoples camilan dengan gugup.

"Kakek lo punya pacar?"  Mina mengangkat wajahnya terkejut mendengar pertanyaan itu. Verner  meringis. "Ka—kayaknya lo nggak tahu."

"Ngomong apa, sih?" Mina  menggeleng-geleng. "Ya kali Kakek punya pacar udah tua juga. Nenek  tidur lama aja Kakek nangis-nangis takut Nenek meninggal. Apalagi  selingkuh." Sedetik kemudian Mina membelalak. "Ah.... Mungkin salah  paham dengan perkataan gue tadi."

"Emang lo ngomong apa?  Andaikan gue ngerti." Dipandanginya Mina yang langsung salah tingkah.  Verner tersenyum miring. Terlintas ide untuk menggoda, tetapi kemudian  senyumnya menghilang karena bingung harus menggoda bagaimana.

"Lo ngapain ke sini?"  tanya Mina, lalu menghela napas. "Verner, gue tahu lo niat untuk  ngebantu gue, tapi dengan lo yang terus ada di samping gue saat di  sekolah gue yang jadi paling disorot dan dicaci digosipin. Jadi, please lupain  semua kesepakatan yang pernah kita buat kalau memang ada ... dan kita  buat kesepakatan baru untuk nggak perlu saling ketemu atau sampai lo  yang nyamperin ke sini. Ya, intinya hubungan kita ... maksud gue kita  nggak perlu komunikasi dengan cara apa pun. Kembali ke awal sebagai dua  orang yang nggak saling kenal."

Mina sudah bicara panjang lebar, tetapi Verner memandangnya datar. "Kalau gue nggak mau?"

Keras kepala banget, sih, batin Mina, gemas. Mina menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Sekarang apa? Dia tidak bisa tegas.

"Gue udah peringatin Auris buat nggak ganggu hidup lagi."

"Apa?" Jantung Mina terasa mencelos mendengar nama itu.

"Ya, Auris. Lo nggak  perlu khawatir lagi. Auris yang ngancem lo supaya nggak deket gue, kan?  Mulai hari ini Auris nggak akan macam-macam lagi atau sampai ngelakuin  ancamannya. Tenang aja."

"Rasanya gue jadi  perusak pertemanan." Mina membuang muka setelah tahu Vener memandangnya  lekat. Mina tak terbiasa dipandangi begitu. "Udahlah. Nggak ada  untungnya lo temenan sama gue."

"Ada." Mina melirik Verner yang sedang berdiri. Cowok itu berpindah ke kursi sampingnya, kembali memandang Mina lekat. "Banyak."

"Contohnya?" Mina tidak tahu harus mengatakan apa selain itu yang terlintas.

"Lo."

Mina mengernyit. Verner  tiba-tiba menarik tangannya, memasukkannya ke dalam dua tangan Verner  yang terkatup. Cowok itu melemparkan senyuman yang membuat Mina  mematung.

"Gue pengin jadi lebih  baik walaupun gue masih kadang berbuat salah. Dan gue pikir, selama ini  gue nggak punya teman yang lurus."

Mina menggumam pelan. "Bukan teman yang bisa ubah lo, tapi diri lo sendiri."

"Tapi seseorang juga  butuh orang lain di sampingnya untuk berkembang." Verner sejak tadi tak  bisa berhenti tersenyum melihat tingkah Mina yang menggemaskan. Di  samping itu dia serius dengan semua perkataannya. "Mina, lihat gue."

Seolah dihipnotis, Mina  menoleh. Mereka saling pandang dalam hening untuk beberapa saat  sementara Verner masih menggenggam kedua tangannya.

"Gue pengin didampingi orang yang tepat." Raut wajah Verner berubah sendu. "Lingkungan gue terlalu toxic dan gue gampang terpengaruh lingkungan."

Mina jadi merenung.  Verner memiliki lingkaran pertemanan yang terlalu bebas. Tak heran  Verner kedengaran senakal orang-orang rumorkan. Satu contoh teman yang  seperti iblis adalah Devan.

Ada satu hal yang  membuat Mina tertarik. Bagaimana rasanya jika suatu saat Verner berhasil  menjadi yang dia harapkan dan yang mendampinginya selama itu adalah  dirinya? Mina yakin dia akan menjadi teman yang sangat bermanfaat dan  suatu kebanggaan untuknya bisa melihat perkembangan sifat seseorang yang  menakjubkan.

Meski Mina tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya nanti. "Memangnya lo niat untuk jadi lebih baik?" 

"Banget." Tatapan Verner  yang penuh harap itu membuat Mina jadi tak tega untuk menolak. "Kalau  lo takut sama gue, gue nggak mungkin macam-macam. Karena gue tahu  risikonya apa. Lo pasti bakalan benci gue berkali-kali lipat kalau gue  macam-macam, kan? Dan gue nggak mau lo benci gue. Mina lo mau, kan?"

Mina sampai tak sadar tangannya masih terus dipegang Verner. "Apa?"

"Buat terus ada di samping gue?"

Mina mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari sepasang mata cokelat Verner.

"Dan satu lagi." Verner  menjauhkan tangan mereka. Jemari Verner mengusap pipi Mina lembut.  Verner memandang penuh posesif. "Jangan ada cowok lain di antara kita."

[]



Baca duluan di https://karyakarsa.com/kandthinkabout

catatan lagi untuk pembaca lama: cerita ini hanya repost. dan bagi pembaca baru yang ingin baca duluan, silakan ke karyakarsa karena di sana sudah tamat. di wattpad akan terus di update sampai tamat juga, tapi butuh waktu.

Beli lewat webnya aja. Ketik ulang di halaman google -> https://karyakarsa.com/kandthinkabout (atau cek bio profilku, klik tautan di sana)

thank you!

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang