"Pacar?" Pandangan Kakek beralih ke arah Mina. Pupilnya agak naik untuk melihat Mina yang baru muncul. "Mina?"
Mina hanya bisa menringiss bingung. Dipandanginya Verner yang sibuk senyum tanpa dosa sementara dirinya hanya bisa memaki dalam hati.
"Pacar kuwi opo? (Pacar itu apa?)" tanya Kakek saat kembali beralih kepada Verner.
Verner dan Mina saling pandang. Verner yang melemparkan tatapan bingung padanya dan Mina yang kaku melihat cowok itu.
Mina memandang Kakek dengan wajah tegang. "Pacar kuwi ... konco lanang."
"Oalah." Kakek menepuk-nepuk kursi kayu di sampingnya. "Lungguh sek. Lungguh sek (Duduk dulu)."
Mina melirik Verner yang lagi-lagi kebingungan. Meski tak mengerti, dia paham lewat isyarat yang diberikan Kakek. Verner memasuki rumah itu seperti rumah sendiri, membuat Mina rasanya ingin segera menghilang. Namun, Mina tidak tenang dan tak bisa meninggalkan mereka berdua.
"Temen aku nggak bisa bahasa Jawa, kayaknya," kata Mina pelan.
"Kok kayaknya?" tanya Kakek heran. "Kalau pacar ya harus tahu pasti. Nggak pakai kayaknya."
Mina menyengir kaku.
"Bikin minum. Ada pacar kok berdiri di situ aja nggak dilayani." Perkataan Kakek membuat Mina langsung berbalik sambil terus kesal pada diri sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa.
"Ada urusan apa? Kerja tugas?" tanya Kakek.
Verner menggeleng. "Bukan, Kek. Cuma mau nyamperin."
"Oh, begitu." Kakek melihat jam di dinding, lalu berdiri bersiap-siap pergi. sejak tadi Kakek memang sudah rapi. "Aduh. Sayangnya saya nggak bisa temani kamu di sini. Ngobrolnya sama Mina aja, ya. Saya ada urusan sama pacar."
Verner mengernyit, tetapi dia tetap berusaha memperlihatkan wajah santai. Kakek akhirnya pergi tepat saat Mina tiba di ruang tamu. Kepergian Kakek membuat Mina agak lega, satu yang harus dia lakukan sekarang yaitu menyuruh Verner untuk pulang.
Mina duduk di kursi yang berhadapan dengan Verner. Verner memandangnya intens, membuat cewek itu menaruh nampan berisi teh dan stoples camilan dengan gugup.
"Kakek lo punya pacar?" Mina mengangkat wajahnya terkejut mendengar pertanyaan itu. Verner meringis. "Ka—kayaknya lo nggak tahu."
"Ngomong apa, sih?" Mina menggeleng-geleng. "Ya kali Kakek punya pacar udah tua juga. Nenek tidur lama aja Kakek nangis-nangis takut Nenek meninggal. Apalagi selingkuh." Sedetik kemudian Mina membelalak. "Ah.... Mungkin salah paham dengan perkataan gue tadi."
"Emang lo ngomong apa? Andaikan gue ngerti." Dipandanginya Mina yang langsung salah tingkah. Verner tersenyum miring. Terlintas ide untuk menggoda, tetapi kemudian senyumnya menghilang karena bingung harus menggoda bagaimana.
"Lo ngapain ke sini?" tanya Mina, lalu menghela napas. "Verner, gue tahu lo niat untuk ngebantu gue, tapi dengan lo yang terus ada di samping gue saat di sekolah gue yang jadi paling disorot dan dicaci digosipin. Jadi, please lupain semua kesepakatan yang pernah kita buat kalau memang ada ... dan kita buat kesepakatan baru untuk nggak perlu saling ketemu atau sampai lo yang nyamperin ke sini. Ya, intinya hubungan kita ... maksud gue kita nggak perlu komunikasi dengan cara apa pun. Kembali ke awal sebagai dua orang yang nggak saling kenal."
Mina sudah bicara panjang lebar, tetapi Verner memandangnya datar. "Kalau gue nggak mau?"
Keras kepala banget, sih, batin Mina, gemas. Mina menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Sekarang apa? Dia tidak bisa tegas.
"Gue udah peringatin Auris buat nggak ganggu hidup lagi."
"Apa?" Jantung Mina terasa mencelos mendengar nama itu.
"Ya, Auris. Lo nggak perlu khawatir lagi. Auris yang ngancem lo supaya nggak deket gue, kan? Mulai hari ini Auris nggak akan macam-macam lagi atau sampai ngelakuin ancamannya. Tenang aja."
"Rasanya gue jadi perusak pertemanan." Mina membuang muka setelah tahu Vener memandangnya lekat. Mina tak terbiasa dipandangi begitu. "Udahlah. Nggak ada untungnya lo temenan sama gue."
"Ada." Mina melirik Verner yang sedang berdiri. Cowok itu berpindah ke kursi sampingnya, kembali memandang Mina lekat. "Banyak."
"Contohnya?" Mina tidak tahu harus mengatakan apa selain itu yang terlintas.
"Lo."
Mina mengernyit. Verner tiba-tiba menarik tangannya, memasukkannya ke dalam dua tangan Verner yang terkatup. Cowok itu melemparkan senyuman yang membuat Mina mematung.
"Gue pengin jadi lebih baik walaupun gue masih kadang berbuat salah. Dan gue pikir, selama ini gue nggak punya teman yang lurus."
Mina menggumam pelan. "Bukan teman yang bisa ubah lo, tapi diri lo sendiri."
"Tapi seseorang juga butuh orang lain di sampingnya untuk berkembang." Verner sejak tadi tak bisa berhenti tersenyum melihat tingkah Mina yang menggemaskan. Di samping itu dia serius dengan semua perkataannya. "Mina, lihat gue."
Seolah dihipnotis, Mina menoleh. Mereka saling pandang dalam hening untuk beberapa saat sementara Verner masih menggenggam kedua tangannya.
"Gue pengin didampingi orang yang tepat." Raut wajah Verner berubah sendu. "Lingkungan gue terlalu toxic dan gue gampang terpengaruh lingkungan."
Mina jadi merenung. Verner memiliki lingkaran pertemanan yang terlalu bebas. Tak heran Verner kedengaran senakal orang-orang rumorkan. Satu contoh teman yang seperti iblis adalah Devan.
Ada satu hal yang membuat Mina tertarik. Bagaimana rasanya jika suatu saat Verner berhasil menjadi yang dia harapkan dan yang mendampinginya selama itu adalah dirinya? Mina yakin dia akan menjadi teman yang sangat bermanfaat dan suatu kebanggaan untuknya bisa melihat perkembangan sifat seseorang yang menakjubkan.
Meski Mina tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya nanti. "Memangnya lo niat untuk jadi lebih baik?"
"Banget." Tatapan Verner yang penuh harap itu membuat Mina jadi tak tega untuk menolak. "Kalau lo takut sama gue, gue nggak mungkin macam-macam. Karena gue tahu risikonya apa. Lo pasti bakalan benci gue berkali-kali lipat kalau gue macam-macam, kan? Dan gue nggak mau lo benci gue. Mina lo mau, kan?"
Mina sampai tak sadar tangannya masih terus dipegang Verner. "Apa?"
"Buat terus ada di samping gue?"
Mina mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari sepasang mata cokelat Verner.
"Dan satu lagi." Verner menjauhkan tangan mereka. Jemari Verner mengusap pipi Mina lembut. Verner memandang penuh posesif. "Jangan ada cowok lain di antara kita."
[]
Baca duluan di https://karyakarsa.com/kandthinkabout
catatan lagi untuk pembaca lama: cerita ini hanya repost. dan bagi pembaca baru yang ingin baca duluan, silakan ke karyakarsa karena di sana sudah tamat. di wattpad akan terus di update sampai tamat juga, tapi butuh waktu.
Beli lewat webnya aja. Ketik ulang di halaman google -> https://karyakarsa.com/kandthinkabout (atau cek bio profilku, klik tautan di sana)
thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
YOURS
Teen Fiction"Lo kurang ajar. Berengsek. Suka berlaku seenaknya!" - Mina "But you love me, Mine." - Verner Sullivan [] Mina benci dengan cowok. Pengalaman yang dialaminya dulu membuat hatinya keras dan memandang cowok tak lebih dari monster. Setampan apa pun itu...