09.

3.2K 223 5
                                    

Mina kalut. Pikirannya penuh dengan segala kecurigaan tentang apa yang dia alami sekarang. Tanpa bicara, tanpa mau memandang Verner, Mina melangkah memberanikan diri mendekati pintu yang langsung dihalau oleh Verner. Sebelah tangan cowok itu langsung terentang menghalau pintu dan membuat Mina memandang Verner marah.

"Gue mau pulang!" teriaknya, histeris. Bahkan bisa saja orang di luar mendengarkan suaranya.

Verner berpindah tempat, kini berdiri membelakangi kenop pintu. "Lo pasti sekarang mikir gue bakalan ngapa-ngapain lo."

Verner menyelesaikan perkataannya saat berhasil mengunci pintu dan mengantonginya. Cowok itu berjalan melewati Mina yang sedang frustrasi dengan keadaan. Mina berbalik memandang Verner sambil menangis.

"Walaupun gue pernah nyium lo bukan berarti gue bakalan ngapa-ngapain lo. Apalagi maksa. Kejadian malam itu cuma kesalahpahaman gue tentang lo," kata Verner dengan wajah tanpa dosa.

"Dengan lo yang ngurung gue di sini apa itu bukan paksaan?"

"Ya, bisa dibilang paksaan. Demi kebaikan lo." Verner menoleh dan terkejut melihat air mata Mina sudah memenuhi wajahnya. Verner menghela napas sambil mendekat, sontak Mina mundur menjaga jarak. "Karena cuma dengan cara ini lo bisa di dekat gue dan nggak kabur dari masalah."

"Gue cuma nggak pengin ketemu lagi dan ngelupain semuanya," bisik Mina, lirih.

"Nggak." Verner menggeleng cepat. "Kita harus bareng. Harus sering bareng. Demi lo."

"Gue pengin pulang. Bukain pintunya!" teriak Mina.

"Nggak."

"Bukain. Gue mau pulang!" Kali ini Mina tak lagi berteriak biasa, tetapi histeris. Gerak tubuhnya menandakan bahwa dirinya sangat frustrasi. Satu-satunya yang dia inginkan hanya pergi. "GUE MAU PULANG!"

Mina terduduk memeluk dirinya sendiri dengan tersedu. "Lo nggak ngerti! Lo nggak akan paham! Semua masalah gue itu berpusat tentang laki-laki dan lo pengin berlaku seenaknya di hidup gue? Please, satu-satunya yang gue pengin adalah nggak ketemu lo. Gue nggak mau! Nggak mau!"

Verner tertegun di tempatnya.

Semua masalah Mina berpusat pada laki-laki. Verner mengutip perkataan itu, lalu mencerna setiap kata Mina yang kembali menyusul.

Mina terisak, tenggorokannya tercekat. "Nggak ada. Nggak ada yang bisa ngerti...," kata Mina pelan. Mata sembabnya mengarah kepada Verner yang masih tertegun. "Apa gue harus cerita semua masalah gue supaya lo bisa berempati dan mengerti sedikit saja?"

Cewek itu tertawa dalam kehampaan. Dia menggeleng. "Nggak mungkin orang kayak lo bisa ngerasain itu, lalu apa? Gue akan terima keadaan kembali diperlakukan semena-mena sama laki-laki?"

Verner memalingkan wajah, menunduk dalam. Suara lirih penuh tekanan, wajah sedih penuh tangis, dan kata-kata yang membuat Verner bukan lagi sekadar merasa berempati saja, tetapi punya keinginan untuk membantu Mina. Bahkan sisi untuk melindungi cewek yang sedang rapuh itu timbul ketika menyadari hidup Mina jauh lebih buruk dari hidupnya sendiri.

Verner tahu bagaimana rasanya memiliki problem dalam hidup. Meskipun masalah mereka jelas berbeda, tetapi tetap saja sama. Mereka sama-sama memiliki masalah hidup yang berat.

Mina pasti akan terus-terusan menolak kehadirannya. Verner sudah bertekat, dengan cara apa pun itu, lewat paksaan atau tidak, Verner akan melindungi Mina sampai Mina memaafkan kesalahannya malam itu.

"Oke, gue bakalan biarin lo pergi." Verner mendekat, berhenti di hadapan Mina dan berjongkok. "Tapi sebelum itu, pertama-tama, lo harus cerita apa pun masalah lo ke gue. Mungkin, gue bisa sedikit membantu."

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang