Berani

403 61 0
                                    

Embun sudah berada disekolah, dengan Angkasa disampingnya. Embun sama sekali, tidak berniat untuk membalik tubuhnya menatap Angkasa.

Saat Angkasa bertanya, Embun sama sekali tidak ada niat untuk menjawab. Apa Embun benar-benar marah?

Angkasa terus saja berpikir, harus apa dia sekarang? Embun benar-benar kecewa kepadanya. Embun, sangat membenci seorang pembohong dan ingkar janji.

Pelajaran sudah mulai, saat Angkasa bertanya apapun itu. Embun tidak pernah menjawabnya, saat Angkasa memegang tangannya.

Embun melepaskannya dengan kasar, mungkin Embun butuh waktu. Untuk, menerima semuanya.

Saat istirahat berdering, Embun berjalan menuju kantin. Tanpa memperdulikan, Angkasa yang mengikutinya dari belakang.

"Udah lama?" tanya Embun, saat melihat Farrel.

"Engga kok kak."

Embun mengganggukan kepalanya, lalu duduk didepan Farrel. Angkasa, ikut duduk disamping Embun.

"Eh, gue liat cewek anak sekolah kita ni. Malem-malem, balik dari balapan liar" ujar seorang wanita, sedikit berteriak.

Embun hanya tersenyum meremehkan, Angkasa menatap Embun. Lalu, menatap Sinta dengan tajam.

"Atau dia jadi wanita bayaran?" tanya Sinta.

"Wah bener tuh!" ujar seorang, laki-laki.

Embun terus saja menggaduk-ngaduk batagornya, mendengarkan sindiran dan ocehan dari manusia tidak tau diri.

"Murahan." ucap Sinta, dengan senyum smirknya.

"Memang sudah terlalu banyak, wanita yang merendahkan wanita lain" ucap Embun, dengan senyuman meremehkannya.

Embun membalikan tubuhnya, menatap Aditya dan Sinta dengan silih bergantian.

"Menurut kalian, dengan cara kotor kayak gini. Bisa menjatuhkan gue?" tanya Embun.

Sinta menatap Aditya, dengan mata ketakutan. Seharusnya, dia tidak melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri.

Embun beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju Sinta dan Aditya.

"Gue memang kebalapan kemaren" ucap Embun.

"Gue engga akan membela diri gue, terlalu lama. Karena, pemikiran kalian sudah percaya, dengan apa yang Sinta katakan" ujar Embun

"Kalian bisa mengatakan seseorang, murahan. Dengan satu cerita bodoh kayak gini"

Semua siswa berbisik-bisik saat mendengar ujaran Embun, Sinta mendongkakan kepalanya menatap Embun. Dengan senyuman, liciknya.

"Tapi bukan jual diri, kayak lo" ujar Embun pelan.

"Gue engga pernah jual diri?!" bentak Sinta.

"Saat lo fitnah gue jual diri, gue engga berteriak kayak lo" ucap Embun.

"Karena gue engga jual diri!" bentak Sinta.

Embun tertawa meremehkan, saat mendengar penuturan dari Sinta barusan.

"Yakin? Modelan kayak gini, engga pernah jual diri?" tanya Embun, kepada semua siswa yang berada dikantin.

Embun segera menyalakan handphonenya, dan menunjukan sebuah foto. Yang berhasil, membuat Sinta membulatkan matanya.

"Siapa ini? Om lo?" tanya Embun, mengejek.

"Diajak ke hotel, kira-kira ngapain ni?" tanya Embun, dengan diakhiri kekehan.

"Biasanya, kalo sama om-om. Diajak kehotel, dengan pakaian terbuka kayak gini" ujar Embun, menggantung ucapannya.

Embun mendekat kearah telinga Sinta, "kalo bukan jual diri, ngapain? Hiburan?" tanya Embun, pelan.

Sinta membeku didepannya, semuanya sudah terbongkar sekarang. Sulit rasanya, Sinta membela dirinya sendiri.

"Mau kesekolah, pake baju yang bener. Jangan kayak jalang gini, bajunya longgarin jangan terlalu ketat. Jatohnya kayak lemper tubuh Lo" ucap Embun, dengan terkekeh diakhirnya.

"Ini tempat buat belajar, bukan jual diri. Canda jual diri" lanjut Embun, dengan tawanya.

Angkasa bertepuk tangan, lalu berjalan menuju Embun dan Sinta.

"Murahan, teriak murahan. Engga pantes Sin" ujar Angkasa.

Sinta meneteskan air matanya, dia merasa malu sekarang. Dia tidak bisa membela dirinya sendiri, karena memang benar.

"Jangan main-main sama gue." ujar Embun, dengan senyumannya.

Embun memutar tubuhnya meninggalkan, Sinta yang menangis. Menatap kedepan, seperti tidak ada harapan.

"Ini belum seberapa." ujar Angkasa.

TBC
.
.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak teman 🧡

After EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang