"Kakak siap?" tanya Farrel.
Embun mengganggukan kepalanya dengan mantap, dan segera masuk kedalam ruangan seorang pasien.
"E-mbun?"
Embun segera mendekat kearah Galaksi, Galaksi membuka oksigennya dan menatap dua orang yang mendekat kearahnya.
"Gue kira, lo udah mati" ucap Embun, menatap Galaksi dengan dingin.
Galaksi terdiam dengan apa yang dikatakan oleh Embun, dadanya terasa nyeri karena tembakan waktu itu.
"Gara-gara lo, gue kehilangan sosok yang nemenin gue selama ini."
"Gue kehilangan kak Aurora, dan sekarang lo mau buat gue kehilangan Angkasa?" tanya Embun, bergetar.
"Ma-af,"
Embun tertawa dengan apa yang dikatakan oleh Galaksi, ia menatap langit-langit kamar pasien.
"Apa dengan kata maaf lo, bisa bangunin kak Aurora lagi hah?!"
"Apa dengan kata maaf lo juga, bisa sadarin Angkasa yang berjuang bangun dari komanya?!" bentak Embun.
Farrel segera mendekat kearah Embun, "udah kak. Sabar," tenangnya.
"Apa yang perlu disabarin hah?! Dia udah buat kita kehilangan kak Aurora!" bentaknya, dengan air mata yang mengalir.
"A-pa yang harus gue lakuin? Apa yang lo mau dari gue? agar lo, bisa maafin gue?" tanyanya.
"Gue mau lo yang mati bukan kak Aurora, gue mau lo yang koma bukan suami gue!" jawabnya.
Embun membuang air matanya dan menatap, lurus kedepan jendela. Membelakangi, Galaksi.
"Gue juga mau, kalo emang itu bisa."
"Lo, orang baling anjing! Yang pernah gue temuin!" maki Embun, menunjuk kearah Galaksi.
"Lo buat hidup gue udah engga ada, artinya lagi!"
"Ma-af,"
"Gue tunggu, kabar kamatian lo."
Setelah mengatakan itu, Embun segera keluar dari kamar pasien yang diikuti oleh Farrel dibelakangnya.
"G-ue emang manusia, paling anjing. Paling bego,"
Galaksi memukul kepalanya, dengan bruntal. Rasa sesalnya, sudah terasa sangat menyakitkan didalam jiwanya.
Galaksi meneteskan air matanya, dan menjambak rambutnya dengan kuat. Dadanya, kembali sakit.
"Gue mau mati, aja anjing!"
¥¥¥
Embun sedang berada diruangan Angkasa, sudah satu Minggu ini. Ia koma, enggan membuka matanya.
"Kamu tega Sa,"
"Kamu tega, ninggalin aku sendiri disini."
Embun berjalan sedikit menjauh, dari Angkasa. Ia, sudah tidak bisa lagi menahan air matanya.
"Kamu jahat Sa! Kamu jahat!" isaknya.
"Aku sendirian disini, aku engga punya siapa-siapa lagi. Ayah dan bunda pergi, kak Aurora juga pergi. Dan kamu juga pergi Sa,"
"Mana janji kamu? Mana janji kamu, buat selalu ada buat aku?" tanyanya.
Embun menghapus air matanya dengan prustasi, dan membenarkan rambutnya. Dadanya, sesak menahan jeritan luka.
"Ka-lian jahat,"
¥¥¥
"Makan Embun," perintah Cantika.
Embun masih saja terdiam, dengan tatapannya yang tak sana sekali terusik.
"Sayang, makan yuk" perintah Elice.
Embun masih terdiam, Cantika mendekatkan sendok itu kemulutnya. Namun Embun, menjauhkan kepalanya.
Cantika menatap kearah Elice, lalu menggelengkan kepalanya pasrah.
"Makan sayang, kamu belum makan dari kemarin" bujuk Cantika.
"Kalo aku makan, apa Angkasa akan sadar?" gumamnya.
"Kamu mau siksa diri kamu sendiri? Kamu mau biarin, anak yang ada didalam perut kamu tersiksa?" tanya Cantika.
Embun menatap keduanya dengan mata sembabnya, lalu segera memeluk Cantika dan menangis didalam dekapannya.
"Semua ninggalin aku Tante, semuanya ninggalin aku."
Cantika dan Elice menahan air matanya, untuk tidak mengeluarkan air matanya didepan Embun.
"Ma-sih banyak yang sayang sama kamu sayang, jangan seperti itu."
Cantika melepaskan pelukannya, dan memegang kedua pipi Embun menghapus air matanya. Dan, menggelengkan kepalanya.
"Ja-ngan, jangan gitu."
"Kemana Embun yang Tante kenal? Yang kuat, berani. Engga lemah kayak gini, kemana Embun?"
TBC
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak teman 🧡Akhirnya bisa up juga hehehe
Luka_10
KAMU SEDANG MEMBACA
After Embun
Teen FictionBIASAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA REVISI DILAKUKAN SETELAH CERITA SELESAI diusahakan untuk membaca cerita Embun terlebih dahulu. Agar tau, alur ceritanya bagaimana. Agar, tidak salah paham. Embun Ravandra Praciska, memang bukanlah bagian keluarga Rava...