Semakin Besar

393 67 5
                                    

Argan sedang dalam perjalanan menuju rumah anaknya, dan juga menantunya. Dengan tatapan, yang serius kedepan.

Saat sudah sampai, Argan segera keluar dari mobilnya. Dan berjalan, menuju rumah anaknya.

Tok! Tok!

Saat Embun beranjak dari duduknya, Angkasa segera menahan istrinya itu.

"Biar aku, yang bukain." Angkasa segera beranjak dari duduknya, dan segera membuka pintu utama.

"Papi?"

Sekarang Embun, Angkasa dan juga Argan sedang berada diruangan tamu. Argan menatap keduanya, dengan serius.

"Papi tau, kalian sudah keluar dari sekolah." ujar Argan, membuka suaranya.

"Kenapa? Jelaskan ke papih Angkasa, Embun" perintah Argan.

"Pihak sekolah udah tau, tentang kehamilan da juga pernikahan kita. Sudah, ada yang menyebar semuanya" jawab Angkasa.

"Menyebar? Siapa yang berani?" tanya Argan.

Seketika ketiganya terdiam, dengan pikiran dan juga sangkaan dari benak mereka masing-masing.

"Papi tau, kalian mengundurkan diri dari sekolah. Bukan , dikeluarkan dari pihak sekolah."

"Lalu mau apalagi yang harus dipertahankan? Semuanya sudah tau, walaupun pihak sekolah memikirkan kembali tentang masalah ini. Nama sekolah yang, menjadi taruhannya bukan?" jawab Embun, membuat Argan terdiam.

"Papi tau, papi mengerti. Tapi kenapa kalian engga cerita? Kalian sudah meresa dewasa? Untuk menyelesaikannya sendiri?" tanya Argan.

"Setelah ayah kamu meninggal, papi yang menjadi ayah kamu Mbun" lanjut Argan.

Embun menundukkan kepalanya, dan memainkan jari lentiknya. Jika membahasa soal ini, dia mengaku salah.

"Papi merasa, tidak dianggap oleh kalian."

Dua pasangan itu mendongkakan, kepalanya. Menatap Argan, Argan menatap kearah lain dengan mata memerah.

Embun melirik Angkasa, Embun segera beranjak dari duduknya. Dan, berjalan menuju papihnya itu.

"P-apih, maafin aku sama Angkasa ya. Kita, engga bermaksud seperti itu" jawab Embun.

"Papih, adalah papih terhebat! Papi adalah, kehidupan Embun yang baru." ujar Embun, bergetar.

Argan menatap wanita didepannya ini, rasa rindunya kepada mendiang Embun. Sudah terasa hingga, membuat jiwanya sepi.

Argan mengganggukan kepalanya, lalu memeluk dengan erat menantunya itu. Argan menteskan air matanya, rasa rindunya seperti sudah berada diujungnya.

¥¥¥

5 bulan kemudian...

Embun sedang berada didapur, dengan perutnya sudah mulai membesar. Karena, sudah memasuki bulan ke lima.

Embun mengelap keringatnya, dan terus menggoreng ayam. Angkasa baru saja turun dari kamarnya, dan melihat istrinya itu.

"Yaallah sayang, istirah dulu. Udah aku bilang, biar kita cari pembantu aja" omel Angkasa.

Angkasa segera mematikan ayam goreng, dan menuntun istrinya untuk duduk dimeja makan.

"Kalo bisa sendiri, kenapa harus sama orang lain?" tanya Embun.

"Aku engga mau! Kamu kecapean"

Embun tersenyum dengan tulus, lalu memegang kedua tangan suaminya itu.

"Harus bisa mandiri,"

"Kan ada kamu, kenapa harus mandiri?" tanya Angkasa.

Embun terkekeh dengan bayi besar, yang berada didepannya ini.

"Kalo aku engga ada, kamu mau gimana manja kayak gini?" tanya Embun, sedikit menggoda suaminya itu.

"Kemanapun kamu! Aku ikut," ujar Angkasa final.

"Aku pergi menghadap Tuhan, kamu juga mau ikut?" tanya Embun, membuat Angkasa terdiam.

Embun tersenyum, "makanya mandiri sayang. Aku engga mau, kamu terlalu bergantung ke aku" lanjutnya.

Angkasa beranjak dari duduknya, dan duduk disamping istrinya itu. Lalu, memeluknya dengan hangat.

"Tapi, aku suka bergantung ke kamu" jawab Angkasa.

Embun kembali terkekeh, dengan sikap manja suaminya ini.

Angkasa mengelus perut besar istrinya, tiba-tiba ia terlonjak sedikit kaget. Dengan, tendangan dari anaknya.

"Yaampun, aktif banget" ucap Angkasa, dengan senyum cerahnya.

"Iya, anak kamu aktif banget. Apalagi, waktu aku tidur. Kadang, sedikit nyeri dan kaget juga" jawab Embun, dengan senyum tulusnya.

"Kenapa kamu engga bangunin aku? Aku mau ngerasain tendangan anak kita" ucap Angkasa, tak terima.

"Aku engga tega, kamu tidurnya pules banget." Jawab Embun.

Angkasa sedikit memanyunkan bibirnya, dan menyandarkan kepalanya dibahu istrinya. Tangannya, masih mengelus perut besar istrinya.

"Kapan mulai kerja, diperusahan papi?"

"Besok."

"Tapi, aku engga tega ninggalin kamu sendirian dirumah. Apalagi, lagi hamil besar kayak gini" ucap Angakasa.

"Omah, bakal sering kesini. Nemenin aku, kamu engga usah khawatir" jawab Embun, mencoba membuang rasa khawatir suaminya itu.

"Aku, engga bisa ngelus perut kamu lagi kalo siang" aku Angkasa, sedih.

"Gapapa, lagian anaknya juga bosen dielus dadynya terus" jawab Embun, dengan diakhiri kekehan.

"Ih sayang!" rengek Angkasa.

"Iya engga,"

"Sebelum anak kita lahir, aku udah ngerasain ngurus bayi" lanjut Embun.

Angkasa melepaskan pelukannya, dan menatap istrinya. Halisnya, ia kerut dengan penasaran.

"Siapa bayinya?" tanyanya penasaran.

"Kamu,"

TBC
.
.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak teman 🧡

Luka_10

After EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang