37. Janji

41.5K 8K 3K
                                        


Allard meninggalkan rumah Erlan dengan emosi yang menggebu. Cowok itu benar-benar tak tau harus berkata apa lagi. Hanya dengan satu tarikan gas, motornya kini melaju kencang membelah jalanan luas. Meninggalkan Erlan yang hanya diam mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan Fani yang menangis.

Pikiran Allard benar-benar kacau, jika keluarga Erlan ada sangkut pautnya dengan kematian Mamanya, Allard sangat kecewa untuk hal itu. Erlan yang dia anggap sebagai saudara dan Fani dimatanya sebagai Ibu pengganti. Bagaimana mereka membohonginya?

Allard menghentikan motornya dipinggir jalan, ponselnya berdering kencang satu telfon masuk. Nama Lintang yang tertera membuat Allard mengangkatnya. Cowok itu menghembuskan nafas menahan sesak yang masih terasa.

"Halo," sapa Allard langsung. "Kenapa?"

Suara grasak-grusuk terdengar sebelum suara Lintang kembali berbicara. "Sini rumah sakit," ujar Lintang.

"Siapa yang sakit?" tanya Allard langsung.

"Si Clarisaa ngab."

"Hah?!" kaget Allard. "Kenapa lagi si anjir," keluhnya merasa pusing. Dia masih memiliki masalah dengan Erlan, kini harus mengurus urusan Clarisaa juga.

"Sini dulu, kasian Clarisaa."

Allard mematikan ponselnya, cowok itu memakai helmnya kembali. Berniat menuju rumah sakit setelah Lintang memberikan alamat pasti.

*****

Lintang langsung menahan tubuh Allard saat cowok itu hendak masuk ke ruang perawatan. Cowok itu mendorong tubuh Allard untuk duduk di kursi.

"Muka lu kek orang gila anjir, kusut amat," ujar Lintang menabok wajah Allard yang tak menampilkan senyum sama sekali.

"Clarisaa kenapa?" tanya Allard langsung.

"Si Rain kan kerumah Clarisaa, dia bilangnya ke gue Clarisaa lagi sakit. Terus kondisinya drop, pingsan, dan si Rain bawa ke rumah sakit sama pembantunya Clarisaa gitu," ujar Lintang menjelaskan.

Dia baru saja ditelfon oleh Rain 1 jam yang lalu, gadis itu meminta tolong padanya karena tau bahwa mereka juga berteman dekat.

"Belum sadar?" tanya Allard.

"Tadi sadar, sekarang lagi tidur."

"Mama Papanya kemana?" tanya Allard.

"Tadi gue tanya sama Bibinya, Mama Papanya pergi anjir. Kasian banget."

Allard diam tak menanggapi lagi, cowok itu membuka ponselnya untuk mencari nomor Papa Clarisaa. Bisa-bisanya laki-laki paruh baya itu mengabaikan Clarisaa lagi.

Saat telfonya diangkat, Allard agak menjauh dari Lintang.

"Clarisaa masuk rumah sakit."

"Hah?! Gimana bisa Allard?" tanya Papa Clarisaa panik dari sebrang.

Allard tersenyum miring. "Siapa ayahnya? Kenapa tanya saya?" ujar Allard menusuk.

Tatapan Allard menajam, pandanganya menatap kearah ruang rawat Clarisaa. "Gimana kalian bisa ninggalin anaknya sendiri kaya gini?"

"Saya lagi nggak sama Mamanya Allard, kamu bisa telfon Mamanya Clarisaa," ujar Papa Clarisaa. Allard sedikit mengernyit heran mendengar nada bicara Papa Clarissa

"Kenapa?" tanya Allard dingin.

Hembusan nafas gusar terdengar. "Saya bilang ke Clarisaa kalau kami akan pisah," ujar Papa Clarisaa.

"Bisa nggak sih mikir dulu?" sentak Allard langsung. "Dasar sialan," umpatnya lalu mematikan telfon begitu saja.

Lintang menatap Allard sambil melotot. "Gak sopan lu anjing," ujar Lintang menggeplak tangan Allard.

Our Destiny [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang